
Meski Tumbuh, OJK Sebut Disrupsi Digital Berdampak terhadap BPR

Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital OJK Sukarela Batunanggar/The Iconomics
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perkembangan teknologi telah menyebabkan disrupsi di berbagai sektor industri termasuk sektor jasa keuangan. Beberapa dampak disrupsi tersebut antara lain banyak bank yang telah menutup kantor cabang, meminimalkan penambahan mesin ATM, dan meningkatnya transaksi elektronik.
“Kita lihat penutupan kantor cabang bank sejak 2014 semakin tinggi, kemudian jumlah pembuatan rekening juga turun, karena banyak bank yang bertransaksi secara elektronik. Sekitar 70% atau 80% sudah bertransaksi elektronik,” kata Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar dalam sebuah diskusi secara daring, Selasa (8/9).
Sukarela mengatakan, disrupsi tersebut membuat perbankan harus mengubah bisnis model menjadi berbasis platform. Kehadiran fintech pembayaran hingga peer-to-peer lending (P2P Lending) membuat disrupsi semakin nyata, yang terlihat dari pengurangan kantor cabang dalam beberapa tahun terakhir termasuk ATM.
Hal serupa, kata Sukarela, juga menimpa BPR di mana selama 4 tahun terakhir, jumlah entitas BPR menurun dari 1.633 entitas pada 2016 hingga tinggal 1.545 entitas yang masih beroperasi pada 2019. Meski demikian, kinerja BPR masih dapat tumbuh stagnan, per Mei 2020 total asetnya mencapai Rp 145,8 triliun atau tumbuh 10,75% dan kredit yang disalurkan sebesar Rp 110.8 triliun atau tumbuh 9,73%.
“Perkembangan kinerja BPR memang masih terlihat bagus, tapi jika dilihat dari tahun ke tahun ini masih stagnan. Ini harus ada perubahan bisnis model agar lebih meningkat,” kata Sukarela.
Untuk itu, kata Sukarela, BPR harus menawarkan inovasi baru terutama dalam produk keuangan. Bila tidak, maka hanya akan menjadi service provider atau melayani sektor tertentu tanpa ada perkembangan. Konsumen saat ini juga mulai berubah dan cenderung akan meninggalkan penyedia jasa keuangan yang masih melakukan bisnis model yang biasa, dan hanya menawarkan produk generik.
“Ada keterbatasan produk dan jasa yang ditawarkan, karena masih tradisional. Sehingga muncul pertanyaan mendasar mengapa perlu melakukan revisi ada value proposition, visi dan misi secara lebih luas,” kata Sukarela.
Leave a reply
