
EUDR Ditunda, Serikat Petani Kelapa Sawit Minta Pemerintah Tak Habiskan Waktu Urus Dasbor Nasional

Kelapa sawit yang sedang diangkut/Dok. AAL
Serikat Petani Kelapa Sawit [SPSI] meminta Pemerintah Indonesia untuk tidak menghabiskan waktu mengurus Dasbor Nasional, tetapi fokus pada penguatan traceability atau ketelusuran, penguatan Sumber Daya Manusi birokrasi hingga daerah dan pelaku usaha termasuk petani kecil agar dapat mematuhi European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR).
EUDR merupakan regulasi Uni Eropa yang bertujuan untuk mengatasi masalah deforestasi global yang berkaitan dengan rantai pasok produk di negara-negara anggota. Regulasi ini diberlakukan untuk memastikan bahwa produk yang diimpor ke Uni Eropa tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau degradasi hutan. Pelaku usaha yang terlibat dalam rantai pasok produk ke pasar Eropa wajib mematuhi regulasi ini.
Peraturan ini berlaku bagi semua produk yang dianggap berisiko terkait dengan deforestasi seperti minyak kelapa sawit, kayu dan produk kayu, kopi, kakao, karet, kedelai dan produk daging (terutama kerbau).
Mansuetus Darto, Dewan Nasional SPKS mengatakan, dalam kebijakan EUDR, tidak ada kewajiban bagi Pemerintah di negara produsen untuk membangun sistem informasi yang dijadikan rujukan untuk memfasilitasi ekspor komoditas ke pasar Uni Eropa.
Lagi pula, kata Darto dalam keterangan pers, Selasa (17/12), Uni Eropa menyiapkan sistem informasinya sendiri dalam implementasi EUDR di semua negara produsen.
Pengembangan Dasbor Nasional, menurut dia, justru akan menjadi bumerang bagi Pemerintah Indonesia. Sistem informasi yang dibangun tidak menjamin adanya perbaikan tata kelola sawit nasional.
“Sejumlah isu penting tidak diadopsi dalam Dasbor Nasional. Ini hanya sistem informasi biasa namun tidak dapat menjanjikan perbaikan tata kelola komoditas berkelanjutan tanpa deforestasi dan pelanggaran HAM. Masyarakat di akar rumput tidak dapat mengakses informasi apapun dalam sistem tersebut untuk mengetahui korporasi yang ada di sekitar mereka di daerah. Apalagi sistem ini tidak mengenal complaint mechanism,” kata Darto.
Lebih lanjut, Darto mengatakan, publik atau organisasi masyarakat sipil yang dekat dengan isu kerakyatan dan lingkungan tidak dapat membuka QR code sebab dalam QR code tersebut tercantum beberapa informasi penting tentang kepatuhan (compliance) dari perusahaan atau komoditas yang ada. Akses terhadap QR code hanya dapat diberikan kepada konsumen atau otoritas yang diizinkan oleh oleh otoritas National Dashboard.
“Jelas di sini bahwa, Dasbor Nasional tidak transparan. Bagi masyarakat sipil, kepastian data dan informasi yang diinput dalam sistem tersebut bukanlah data yang salah dan menjamin bahwa perusahaan atau komoditas apapun tidak melakukan deforestasi dan telah melakukan uji tuntas dengan baik”, jelas Darto.
Sebelumnya, pada sidang pleno 14 November 2024, Parlemen Eropa menyetujui untuk menunda implementasi Regulasi Deforestasi Uni Eropa atau European Union Deforestation-Free Regulation (EUDR) selama satu tahun.
Dengan keputusan ini, kewajiban untuk mematuhi regulasi mulai berlaku pada 30 Desember 2025 bagi pelaku usaha besar, sementara usaha mikro dan kecil diberi kelonggaran hingga 30 Juni 2026.
Perpanjangan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu tambahan bagi pelaku bisnis global agar dapat mematuhi aturan tersebut tanpa mengganggu tujuan utama regulasi.
Melihat waktu hadirnya EUDR hingga pemberlakuannya Desember 2026, terdapat waktu bagi negara-negara produsen sebanyak 2 tahun 6 bulan untuk beradaptasi dengan EUDR.
Alih-alih memanfaakan kesempatan penundaan ini, pemerintah hingga saat ini baru sebatas membentuk National Dashboard Indonesia melalui Keputusan Menko Perekonomian (Kepmenko) Nomor 178 Tahun 2024 tentang Komite Pengarah Dasbor Nasional Data dan Informasi Komoditi Berkelanjutan Indonesia.
Pemerintah mengklaim pengembangan Dasbor Nasional dapat memperbaiki tata kelola komoditas berkelanjutan dan sistem traceability untuk menjawab EUDR. Alih-alih demikian, pembentukan Dasbor Nasional justru tidak sesuai dengan UU Anti-Deforestasi Uni Eropa tersebut. Pemerintah Indonesia menginginkan Uni Eropa dapat mengacu pada sistem ini dalam pemenuhan prosedur dan implementasi EUDR yang sesuai dengan standar no deforestation. Masalahnya, tidak ada sistem transparan yang pernah dibangun Pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil menduga Dasbor Nasional hanyalah sebagai sistem untuk menutup rantai pasok minyak sawit kotor di tanah air.
Langkah Pemerintah Indonesia untuk menjawab tuntutan kebijakan EUDR dinilai justru akan menyulitkan pelaku usaha untuk melaksanakan EUDR. Apalagi, sistem informasi melalui Dasbor Nasional yang digadang untuk memfasilitasi ekspor komoditas Indonesia ke pasar Uni Eropa hingga saat ini belum mendapat lampu hijau dari pihak Uni Eropa. Pada kesempatan lain, Uni Eropa telah mengkonfirmasi bahwa sistem informasi yang mereka bangun untuk pelaksanaan EUDR tidak akan mengacu kepada sistem informasi yang dibangun di negara lain.
Leave a reply
