
Kadin: Jadi Negara Maju, Indonesia Harus Perkuat Lobi dan Negosiasi Perdagangan

Ketua KADIN Indonesia, Rosan P. Roeslani (Kiri)/The Iconomics
Pemerintah Indonesia harus memperkuat lobi dan negosiasi pada sektor perdagangan pasca perubahan status Indonesia menjadi negara maju.
“Dengan gantinya status negara kita menjadi negara maju, keistimewaan atau relaksasi yang kita dapatkan pada saat menjadi negara berkembang kemungkinan besar bisa dihilangkan,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Rosan P. Roeslani saat ditemui pasca pembahasan Omnibus Law di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (24/02/2020).
Rosan mengatakan pihaknya telah menyarankan pemerintah segera memperkuat lobi dan negosiasi dagang serta tarif bilateral agar keuntungan perdagangan Indonesia tetap bertahan. Kalangan dunia usaha sebetulnya sudah memprediksi bahwa suatu saat status negara Indonesia akan berubah menjadi negara maju.
“Dari sisi dunia usaha kita sudah mengantisipasi, sebab kita sudah tahu suatu saat Indonesia akan diakui menjadi negara maju, dimana antisipasinya adalah melalui salah satu Omnibus Law untuk meningkatkan produktivitas perdagangan kita,” tegas Rosan.
Ditempat yang sama, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia IV (Persero) atau Pelindo IV Farid Padang mengatakan bahwa ada segi positif dari peningkatan status tersebut, Indonesia kini dapat bangga karena diakui sebagai mitra dagang dengan ekonomi yang maju oleh Amerika Serikat. Namun, Farid mengatakan sebagai kompensasi dari peningkatan status tersebut maka imbasnya akan dirasakan para eksportir. Sebagai negara maju, Indonesia tidak akan lagi menerima insentif pengurangan Bea Masuk yang dinikmati oleh negara berkembang dari AS.
Farid memperkirakan beban yang akan dikenakan terhadap para eksportir Indonesia ke AS bisa meningkat sekitar hingga 15%. Untuk menghadapi hal tersebut, Farid mengatakan Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak harus menyiapkan beberapa insentif pajak bagi para eksportir untuk menjaga tingkat ekspor Indonesia.
“Caranya Dirjen pajak harus keluarkan pajak insentif untuk eksportir (yang terkena imbas dari penghapusan insentif bea masuk). Salah satunya, impor yang datang dari AS, yang menghasilkan devisa bagi mereka, kita melakukan itu juga (penetapan tarif bea masuk). Misalnya mereka bisa kita kenakan PDRI (pajak dalam rangka impor) juga,” tegas Farid.
Farid mengakui bahwa perubahan status yang dilakukan oleh US Trade Representative (USTR) kepada Indonesia, sesungguhnya merupakan strategi perdagangan AS guna menekan biaya impor AS. Oleh sebab itu, Farid menghimbau pemerintah untuk memanfaatkan perubahan status ini dengan memperoleh leveragedalam perundingan terkait perjanjian kerjasama ekonomi komprehensif (CEPA) dengan pasar alternatif seperti Eropa dan Afrika.
“Intinya Pemerintah harus cepat dalam menghadapi itu. Kalau tidak nilai ekspor dalam neraca perdagangan kita yang sudah negatif ini akan semakin negatif. Sebab itu kita harus cari pasar baru karena mungkin yang disana tidak memberlakukan (tarif bea masuk) yang dilakukan oleh USTR,” imbuhnya.
Sebagai Informasi, beberapa waktu lalu, Amerika Serikat melalui US Trade Representative (USTR) merevisi daftar kategori negara berkembang mereka untuk urusan perdagangan internasional. Beberapa negara yang semula ada di daftar negara berkembang seperti China, Brazil, India kini naik kelas jadi negara maju, termasuk juga Indonesia dan Afrika Selatan.
Leave a reply
