
Masa Depan Bisnis Migas, Masihkah Prospektif di Tengah Upaya Nol Emisi Karbon?

Pakar energi sekaligus mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Arcandra Tahar
Siapa yang percaya, dalam 5 tahun kedepan energi fosil sudah tidak memiki prospkenya lagi? Sebaliknya, siapa yang tidak percaya?
Pertanyaan itu diajukan oleh pakar energi sekaligus mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Arcandra Tahar kepada para peserta World Energy Outlook: Energi Fosil serta Energi Terbarukan bagi Pelaku Usaha dan Industri Perbankan yang digelar oleh Bank Negara Indonesia (BNI), Kamis (7/7).
Atas pertanyaan tersebut, ada peserta yang percaya bahwa energi fosil sudah tidak dibutuhkan lagi dalam lima tahun kedepan. Tetapi, banyak yang tidak percaya bahwa dalam lima tahun kedepan energi fosil sudah tidak dibutuhkan lagi.
Arcandra kemudian melanjutkan pertanyaan yang sama, tetapi dengan rentang waktu 10 tahun dan 15 tahun. Tampak bahwa makin lama rentang waktunya, makin banyak yang percaya bahwa energi fosil tidak relevan lagi.
Benarkan energi fosil akan segera tamat riwayatnya? Arcandra menunjukkan sejumlah data bahwa peradaban manusia masih akan tergantung pada energi fosil dalam kurun waktu yang lama. Sejumlah perusahaan minyak dan gas (migas) Eropa yang sudah menyatakan melakukan transformasi bisnis ke energi terbarukan bahkan dalam beberapa tahun terakhir masih giat melakukan akuisisi lapangan migas eksplorasi.
Tahun 2020, saat lockdown terjadi dimana-mana di seluruh dunia, kebutuhan minyak hanya turun 10% saja dari 100 juta barel per hari menjadi 90 juta barel per hari. Akhir tahun 2021, kebutuhan minyak global kembali naik ke level 100 juta per barel per hari, sama seperti sebelum pandemi.
“Tahun 2022, naik 1 juta, 2 juta (barel) per day. Jadi, curvanya sudah naik kembali, lebih tinggi dari pra pandemi,” ujar Arcandra.
Arcandra mengatakan menurut OPEC, tahun 2045 konsumsi minyak dunia akan naik sekitar 9 juta hingga 10 juta barel per hari dari kondisi sekarang. “Tahun 2045, OPEC mengatakan jangankan turun, 2045 malah naik 10 juta (barel) dari sekarang,” ujarnya.
Arcandra mengatakan kendaraan listrik memang akan mengurangi penggunaan energi fosil. Tetapi data menunjukkan, tahun 2040, penggunaan kendaraan listrik hanya mengurangi 6 juta barel kebutuhan minyak global.
“Artinya, ketergantungan aktivitas manusia terhadap energi fosil bahkan beyond 2040, itu masih tetap tinggi,” ujar pria yang juga menjabat sebagai komisaris utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) ini.
Arcandra mengungkapkan tahun 2050 di Asia Tenggara kebutuhan minyak masih tetap tinggi seperti saat ini. Kebutuhan minyak di Asia Tenggara saat ini sekitar 9,4 juta barel per hari. Indonesia sendiri, saat ini kebutuhannya 1,4 juta barel per hari.
Demikian juga kebutuhan manusia akan LNG. Tahun 2018, kebutuhan LNG global mencapai 300 million tonnes per year (mtpa). Tahun 2030, kekurangan pasokan LNG diperkirkaan akan mencapai 70 mtpa. Kebutuhan LNG pada tahun 2030 diperkirakan naik hampir dua kali lipat dari kebutuhan tahun 2018.
Halaman BerikutnyaLeave a reply
