
Perlu ada Terobosan dalam Credit Scoring

FinTech Talk dengan judul 'Innovative Credit Scoring dan Potensi Peningkatan Akses Pendanaan Usaha Bagi Pemerataan Kesejahteraan Ekonomi Nasional', Selasa (16/3)/iconomics
Iconomics - Perlu ada terobosan dalam melakukan penilaian kredit atau credit scoring, karena dengan model 5C yang selama ini diterapkan oleh bank atau pun lembaga pembiayaan, banyak masyarakat yang tidak punya akses ke kredit atau pembiayaan lembaga keuangan, meskipun mereka memiliki potensi.
Penilaian risiko kredit (credit scoring ) merupakan tahapan yang harus dilewati oleh setiap pengusaha, baik itu individu maupun UMKM, ketika mengajukan kredit/pinjaman kepada pemberi pinjaman seperti bank dan perusahaan pembiayaan (multifinance). Dalam melakukan penilaian risiko kredit tersebut, bank dan perusahaan multifinance umumnya berpegang pada prinsip 5C yang meliputi “character” (karakter), “capacity” (kapasitas), “condition” (kondisi), “capital” (modal), dan “collateral” (agunan/jaminan).
Seiring dengan perkembangan inovasi keuangan digital, penilaian risiko kredit kini dapat dilakukan pula oleh penyelenggara fintech dari model bisnis Innovative Credit Scoring (ICS) dengan memanfaatkan sumber data alternatif yang tidak terbatas pada rekening bank seseorang. Beberapa sumber data alternatif dapat berupa data belanja online, data telekomunikasi (pulsa/tagihan telepon), dan jejak media sosial yang didapatkan melalui kolaborasi dengan perusahaan e-commerce, telekomunikasi, dan platform media sosial.
Inovasi yang dilakukan oleh penyelenggara ICS diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penilaian risiko kredit sehingga mengurangi risiko gagal bayar atau kredit macet. Selain itu, layanan yang diberikan oleh penyelenggara ICS juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang belum memiliki rekening bank (unbanked), untuk dapat meningkatkan peluang akses pendanaan yang akhirnya diharapkan memeratakan distribusi kegiatan ekonomi di seluruh Indonesia. Kolaborasi fintech, termasuk penyelenggara ICS, dengan Bank-Bank Pembangunan Daerah serta perusahaan pembiayaan (multifinance) menjadi salah satu variabel penting dalam mencapai inklusi keuangan serta pemerataan kegiatan ekonomi yang diharapkan.
“Salah satu agenda besar yang ingin dicapai oleh Pemerintah adalah meningkatkan indeks inklusi keuangan masyarakat sebesar 90% di tahun 2024. Kehadiran fintech Innovative Credit Scoring saat ini diharapkan dapat menjadi enabler yang memfasilitasi masyarakat, terutama yang belum tersentuh oleh layanan perbankan, untuk mendapatkan pendanaan bagi kegiatan usahanya,” kata Mercy Simorangkir, Managing Director Asosiasi FinTech Indonesia (AFTECH) ketika membuka FinTech Talk, ‘Innovative Credit Scoring dan Potensi Peningkatan Akses Pendanaan Usaha Bagi Pemerataan Kesejahteraan Ekonomi Nasional’, Selasa (16/3).
Toko Score dari Semangat Digital Bangsa (SDB) sebagai perusahaan penyedia layanan Innovative Credit Scoring (ICS) yang terafiliasi dengan Tokopedia, berharap dapat turut mendukung perluasan akses keuangan bagi masyarakat Indonesia, termasuk pembeli dan para pegiat usaha khususnya UMKM lokal, terutama di tengah pandemi.
“SDB dalam hal ini berkolaborasi dengan berbagai mitra strategis, mulai dari bank pembangunan daerah, perusahaan multifinance hingga teknologi finansial (tekfin) untuk mempermudah masyarakat bisa mendapatkan akses keuangan termasuk pemodalan dari para mitra strategis tersebut melalui penggunaan Toko Score sebagai ICS. Kemudahan tersebut lebih lanjut bisa meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia,” jelas Evita Soetjoadi, Head of Business Development & Marketing Semangat Digital Bangsa, dalam paparannya.
Arfianto Ramadhian, Pemimpin Divisi Digital Banking, Bank BJB, mengatakan credit scoring konvensional dengan model 5C yang saat ini digunakan bank tidak luput dari kekurangan seperti data yang diterima tidak riil dan informasi dari database kurang lengkap, sehingga bank pun tidak mendapatkan informasi yang banyak mengenai calon nasabah. Selain itu, dengan model 5C pun banyak calon nasabah yang tidak memenuhi syarat meski sebetulnya punya potensi.
Karena itu, menurut Arifianto memang perlu ada terbosan dalam model penilaian kredit agar bisa mendapatkan data yang lebih banya mengenai calon debitur. Untuk itu, perlu ada third party scor information, seperti data dari telekomunikasi, pendidikan, dari social media, transaksi pembayaran listrik, PAM, data transaksi di e-commerce, dan sebagainya yang dikombinasikan dengan data tradisional yang dimiliki bank seperti data SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) dan jurnal transaksi di bank.
“Menurut kami sangat relevan bagi kita sekarang yang sudah masuk ke dunia digital bahwa perlu semacam innovative credit scoring model yang bisa mengkombinasikan antara data yang tradisional yang selama ini dimiliki bank yang related dengan 5C dan data di luaran sana untuk meng-grab unbankable,” ujar Arifianto.