Peneliti IFG Progress Ingatkan Dampak Negatif Repricing Premi Asuransi Kesehatan

Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman
Inflasi kesehatan yang tinggi selama beberapa tahun terakhir ini meningkatkan rasio klaim asuransi kesehatan, sehingga memaksa perusahaan asuransi meningkatkan harga premi yang dijual kepada nasabah (repricing).
Namun, Senior Research Associate IFG Progress Ibrahim Kholilul Rohman mengingatkan dampak kebijakan repricing akan membebani perusahaan dalam program program employee benefit.
“Kenaikan premi asuransi kesehatan kumpulan memaksa perusahaan untuk mengalokasikan anggaran lebih besar untuk manfaat asuransi kesehatan karyawan,” ujar Ibrahim dalam webinar ‘Win-win Solution di Kala Inflasi Medis Menanjak’ yang diselenggarakan Theiconomics.com, Selasa, 6 Mei 2025.
Selain itu, kebijakan repricing juga berpotensi membuat asuransi kesehatan menjadi kurang atraktif dan dapat meningkatkan beban BPJS Kesehatan.
“Jadi, enggak ada win-win solution. BPJS-nya juga akan tertekan karena inflasinya tinggi dan asuransi kesehatan karena mereka harus repricing premi menjadi kurang atraktif untuk masyarakat secara umum,” ujarnya.
Sebelumnya, Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun, OJK mengatakan repricing dilakukan karena inflasi medis di Indonesia terbilang tinggi yaitu 10,1% pada 2024, jauh di atas rata-rata inflasi umum yang berada di kisaran 3%.
Peningkatan inflasi medis, kata Ogi, juga terjadi di seluruh dunia, dengan rata-rata 6,5%.
“Ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk kita melakukan perbaikan-perbaikan untuk ekosistem kesehatan di Indonesia,” ujar Ogi.
Ibrahim mengatakan dalam lima tahun terakhir, kesenjangan (gap) antara inflasi umum dan inflasi medis di Indonesia terus melebar.
“Gap-nya sekitar 10% antara inflasi kesehatan dan inflasi umum,” ujar Ibrahim.
Menurut Ibrahim inflasi kesehatan di Indonesia konsisten berada di atas 12% dan diproyeksikan mencapai 16,2% pada 2025. Hal ini terjadi karena sejumlah faktor, seperti tingginya biaya operasional rumah sakit dan alat kesehatan yang masih diimpor.
Penyebab lainnya adalah gaya hidup yang tidak sehat, tingkat stres yang tinggi, polusi lingkungan dan perubahan iklim, sehingga meningkatkan risiko masyarakat menderita penyakit kronis yang memerlukan perawatan jangka panjang dan biaya tinggi.
Selain itu, inflasi kesehatan di Indonesia juga tinggi karena tidak tersedianya clinical pathway sebagai standar, sehingga mengakibatkan perbedaan tindakan medis antar provider kesehatan untuk diagnosis penyakit yang sama. Akibatnya, terjadi praktik tindakan medis yang berlebihan (over treatment atau overutilization).
Inflasi medis ini, kata Ibrahim, memang fenomena yang juga terjadi di berbagai negara. Masalahnya, papar Ibrahim, pada saat yang sama Indonesia juga memiliki tingkat out of pocket health expenditure yang tinggi.
Out of pocket health expenditure adalah pengeluaran langsung untuk layanan kesehatan yang dibayarkan oleh pasien sendiri, bukan oleh asuransi atau pihak ketiga lainnya.
“Ini menjadi salah satu sumber yang bisa mendorong masyarakat fall in under poverty line, karena spending kesehatannya juga tinggi,” ujarnya.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, kata Ibrahim, rata-rata pengeluran kesehatan out of pocket (OOP) masyarakat Indonesia mencapai Rp5,02 juta, setara dengan 5,7% dari pendapatan tahunan rumah tangga.
Biaya terbesar dikeluarkan untuk rawat inap sebesar Rp2,9 juta, biaya berobat Rp1,9 juta dan biaya preventif hanya Rp164.000.
“Kelihatan bahwa porsi dari biaya preventifnya rendah banget dan itu yang menyebabkan prevalensi dari penyakit yang kemudian menyebabkan health spending-nya meningkat menjadi besar, karena tidak dikelola pada prevention stage,” ujarnya.
Masalah lain yang juga dihadapi Indonesia, bila dibandingkan dengan negara lain seperti China dan Singapura, serta negara berkembang lainnya, ada kesenjangan antara pertumbuhan pendapatan perkapita dan pengeluaran perkapita untuk kesehatan. Rata-rata pertumbuhan pendapatan perkapita hanya 2%, sementara pengeluaran untuk kesehatan tumbuh 5%.
“Ini yang sekali lagi menjadi salah satu sumber dari sekian sumber yang mungkin menyebabkan kenapa menurut World Bank 60% populasi Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, karena spending kesehatannya sangat besar,” ujar Ibrahim.
Leave a reply

