PLN Tak Mau Tunduk Pada Tekanan Internasional untuk Pensiundinikan PLTU Batu Bara

0
260

PT Perusahaan Lisrik Negara (Persero) menyatakan tak mau tunduk pada tekanan internasional untuk mempesiundinikan (early retirement) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Bila pensiun dini dilakukan, harus ada kompensasi senilai nilai pembangkit tersebut.

Direktur Utama PT PLN (Persero), Darmawan Prasodjo mengakui adanya tekanan dunia internasional  agar PLN mempesiundinikan PLTU batu bara. Tetapi, ia menegaskan PLN harus melakukannya dengan hati-hati (prudential).

“Jadi, kami dalam tekanan internasional, banyak sekali tekanan untuk early retirement of coal. Ya, kami menyampaikan apa adanya. Monggo saja. Kalau mau ada early retirement of coal, tetapi aset ini tolong dihitung dan tolong diganti dengan cash,”ujar Darmawan dalam dalam Rapat Dengar Pendapat (RPD) dengan Panitia Kerja (Panja) Transisi Energi Komisi VI DPR RI, Rabu (12/7).

Apalgi, tambah Darmawan sudah ada komitmen pendanaan berupa hibah (grant) sebesar US$20 miliar dalam Just Energy Transition Partnership (JETP).

“Kalau nilai pembangkit masih ada Rp10 triliun, tolong diganti Rp10 triliun, dimasukan ke kami dalam bentuk grant dan kami bisa membangun EBT. Untung kami, tidak buntung juga dengan perjanjian seperti itu,” ujarnya.

Baca Juga :   Faktor Cuaca, Produksi Batu Bara Indonesia Diperkirakan Tak Capai Target

Lebih jauh, Darmawan mengatakan transisi energi dari berbasis fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) adalah keniscayaan. Lembaga-lembaga keuangan dunia pun saat ini memberikan bunga yang lebih kecil untuk pembiayaan proyek  EBT.

“Begitu kami masih menekankan pada pembangkit listrik tenaga batu bara, bunga dari modal kami langsung meningkat dari yang tadinya satu digit menjadi dua digit dan kami menjadi tidak kompetitif,” ujarnya.

Tak hanya dari sisi finansial, perubahan iklim global memang mengharuskan adanya transisi energi ke energi ramah lingkungan. Indonesia sebagai negara kepulauan  bakal merasakan dampak dari kenaikan permukaan air laut akibat perubahan iklim.

Tetapi Darmawan menekankan bahwa transisi energi ini harus dilakukan dengan prudent termasuk dalam hal mempensiundinikan PLTU batu bara. “Kalau ini dimatikan [PLTU], ada perusahaan yang bangkrut. Ekosistem investasi yang kondusif itu rusak. Maka, dalam hal ini kami sendiri melakukan ini. Bolelah ada Paris Agreement, Kyoto Protoco, tetapi kami menunjukkan, we doing this not only because of international environmental agreement, tetapi kita betul-betul peduli bahwa generasi masa depan itu harus punya masa depan lebih baik,” ujarnya.

Baca Juga :   Hingga September, Stimulus Kelistrikan Sudah Terealisasi Rp8,4 Triliun

Dunia internasional, menurutnya juga harus adil. Karena nyatanya saat ini negara-negara maju merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar. Ia mengungkapkan emisi per kapita di Amerika Serikat sebesar 14 ton perkapita per tahun, Australia sebesar 18 ton perkapita per tahun, Jepang 10 ton perkapita per tahun, dan Singapura sebesar 11 ton perkapita per tahun. Sementara negara-negara di Afrika rata-rata 1/2 ton hingga 1 ton perkapita per tahun. Indonesia sendiri tingkat emisinya mencapai 3 ton perkapita per tahun.

Karena itu, Darmawan mengatakan bila Indonesia berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca, maka yang diuntugkan bukan hanya rakyat Indonesia, tetapi juga seluruh warga dunia. Karena itu, penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia dalam program transmisi energi harus dikompensasi oleh dunia internasional.

“Harus dibayar,… Begitu kami melontarkan itu, mereka sampe ngomong, ‘kenapa kamu transaksional?’ Lho, saya seorang dirut PLN, saya harus melindungi financial health dari PLN,” ujar Darmawan.

Leave a reply

Iconomics