Pengacara Terdakwa Dorong Penyidik Dalami Dugaan Pengamanan Perkara BTS 4G Bakti
Penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidus) Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa sejumlah orang yang diduga menerima aliran uang yang bersumber dari proyek BTS 4G Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Sejumlah orang yang menerima uang itu diduga menjadi bagian dari pengamanan perkara BTS 4G yang sedang bergulir di Kejagung.
Karena itu, kata Maqdir Ismail penasihat hukum Irwan Hermawan, salah satu terdakwa dalam kasus korupsi BTS 4G, penyelidik dan penyidik Kejagung yang bertugas memeriksa kebenarannya. Akan tetapi, Maqdir menduga orang-orang yang menerima uang tersebut berkorelasi dengan kasus korupsi BTS 4G di Kejagung.
“Mestinya ada korelasinya, cuma saya kira itu tugasnya penyidik atau penyelidik di Kejagung untuk memeriksanya,” tutur Maqdir kepada wartawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta pada Rabu (12/7) kemarin.
Maqdir menuturkan, kliennya sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) mengumpulkan uang senilai Rp 119 miliar. Dan, uang tersebut kemudian dibagikan kepada sejumlah pihak termasuk kepada pegawai di Kominfo dan mantan Menkominfo Johnny G. Plate.
“Sementara dalam berita acara pemeriksaan (BAP) Irwan bertanggal 15 Mei 2023, uang itu mengalir ke X, Y dan Z. Saya terus terang hanya bisa mengatakan seperti itu,” ujar Maqdir lagi
Di luar keterangan Maqdir itu, sempat beredar BAP Irwan di berbagai pemberitaan yang menyebutkan, berdasarkan arahan Anang Achmad Latif (mantan Dirut Bakti Kominfo), dana yang dikumpulkan itu diberikan kepada 11 penerima. Dan, jumlah uang yang dikumpulkan pun mencapai Rp 243 miliar bukan Rp 119 miliar sebagaimana dalam surat dakwaan yang disusun JPU.
Adapun 11 orang yang disebut menerima aliran dana dari Irwan mulai dari staf menteri Rp 10 miliar (April 2021-Oktober 2022); Anang Latif Rp 3 miliar (Desember 2021); Pokja, Feriandi dan Elvano Rp 2,3 miliar (pertengahan 2022); Latifah Hanum Rp 1,7 miliar (Maret dan Agustus 2022); Nistra Rp 70 miliar (Desember 2021 dan pertengahan 2022); Erry (Pertamina) Rp 10 miliar (pertengahan 2022); Windu dan Setyo Rp 75 miliar (Agustus-Oktober 2022); Edwar Hutahaean Rp 15 miliar (Agustus 2022); Dito Ariotedjo Rp 27 miliar (November-Desember 2022); Walbertus Wisang Rp 4 miliar (Juni-Oktober 2022); dan Sadikin Rp 40 miliar (pertengahan 2022).
Karena itu pula, penyidik pada Jampidsus Kejagung mulai memanggil orang-orang yang disebut penerima uang dari Irwan. Orang pertama yang mendapat panggilan adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Ario Bimo Nandito Ariotedjo alias Dito Ariotedjo. Dito diperiksa pada 4 Juli 2023. Setelah selesai diperiksa, Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kuntadi mengatakan, pemeriksaan Menpora Dito dalam rangka klarifikasi pengamanan perkara korupsi proyek BTS 4G Bakti Kominfo. Klarifikasi ini diperlukan sesuai dengan keterangan Irwan yang beredar di berbagai pemberitaan.
“Jadi begini. Informasi yang berkembang dari saudara Irwan (Komisaris PT Solitech Media Synergy) itu kan dia mengumpulkan uang, menyerahkan uang dalam rangka mengupayakan penyidikan (kasus BTS 4G) tidak jalan. Bukan hasil pemeriksaan kami (terhadap Dito saat ini). Artinya kegiatan tersebut sudah di luar pokok perkara dari kasus BTS 4G,” tutur Kuntadi.
Soal tudingan menerima Rp 27 miliar itu, Menpora Dito menuturkan, pihaknya sudah menyampaikan secara terang dan jelas kepada penyidik tentang apa yang diketahui dan dialaminya. “Untuk materi detailnya lebih baik yang berwenang yang menjelaskan. Tapi, sebagai tanggung jawab moral dan dipercaya Presiden Joko Widodo sebagai menteri muda serta kepada keluarga, saya harus meluruskan ini semua dan mempertanggungjawabkan kepercayaan publik,” kata Dito.
Akan tetapi, sehari setelah pemeriksaan Menpora Dito, Maqdir Ismail sebagai kuasa hukum Irwan mengungkapkan fakta baru terkait dana pengamanan perkara itu. Disebutkan ada pihak swasta yang mengembalikan uang kepada Irwan senilai Rp 27 miliar. “Sudah ada yang menyerahkan kepada kami. Nantinya uang itu akan diteruskan kepada Kejagung,” kata Maqdir.
Di samping Dito, ada 2 nama yang juga membetot perhatian publik karena sedang menjabat di badan usaha milik negara yakni Direktur SDM PT Pertamina (Persero) Erry Sugiharto dan Naek Parulian Washington alias Edward Hutahaenan, Komisaris Independen PT Pupuk Indonesia Niaga yang sebelumnya bernama PT Mega Eltra anak dari PT Pupuk Indonesia (Persero). Seperti Menpora Dito, sesuai keterangan Irwan dalam BAP-nya itu, Edward diduga menerima Rp 15 miliar untuk pengamanan perkara BTS 4G Bakti.
Begitu pula dengan Erry, pria yang lama meniti karier di PT Hutama Karya (Persero) itu disebut Irwan dalam BAP-nya sebagai orang yang menerima uang Rp 10 miliar dalam waktu pertengahan 2022. Uang ini diduga untuk pengamanan perkara kasus BTS 4G yang ditangani Kejagung. Ketika Erry meniti karier di Hutama Karya, pada periode yang sama seperti diberitakan Tribunnews, Jaksa Agung ST Burhanuddin pernah menjabat sebagai Komisaris Utama Hutama Karya sejak 4 Agustus 2015.
Pengakuan Windi
Pengakuan Irwan itu sejalan dengan apa yang disampaikan tersangka lain dalam perkara itu yakni Windi Purnama. Sesuai dengan BAP Windi yang beredar di publik mengakui menjadi teman lama dari Anang Achmad Latif (mantan Dirut Bakti Kominfo) dan Irwan. Mereka sama-sama jebolan dari Institut Teknologi Bandung dengan tahun masuk yang sama.
Bahkan khusus dengan Anang Latif, Windi merupakan teman sejak SMP dan SMA. “Begitu juga dengan Irwan Hermawan, saat kumpul-kumpul, saya, Anang Latif dan Irwan, Anang Latif bercerita tentang proyek BTS. Saya melihat proyek ini sangat ambisius, apa mungkin dibangun sekian dan memakai microwave,” kata Windi dalam BAP-nya yang dimiliki The Iconomics.
Rizky Khairullah, penasihat hukum Windi tidak membantah keterangan kliennya berdasarkan BAP yang beredar di publik itu. Justru nama-nama yang beredar dalam pemberitaan yang disebut menerima aliran dana kasus BTS 4G itu sekitar 80% sama dengan yang diketahui kliennya.
“Cuma klien (Windi) saya, tidak mengetahui soal jumlah uang baik yang diambil maupun yang diantarkan. Juga tidak mengerti detail orang-orangnya,” kata Rizky saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Selanjutnya, keterangan Windi dalam BAP-nya mengaku menjadi kurir untuk mengambil dan mengantarkan uang sebagaimana arahan dari Irwan dan Anang Achmad Latif.
“Saya diminta menjadi kurir mengantar dan mengambil uang dari pihak-pihak yang diminta Irwan. Misalnya saya mengambil uang dari Bayu (PT Sarana Global Indonesia), Steven (PT Waradana Yusa Abadi), Winston/Tri (PT Surya Energi Indotama), anak buah Jemmy Sutjiawan (PT Fiberhome Technologies Indonesia) dan lain sebagainya,” kata Windi.
Sementara hubungannya dengan Anang Latif, Windi mengaku mendapat arahan untuk menyerahkan uang kepada sejumlah pihak seperti Yunita, Feriandi Mirza, Jenifer, lalu nomor telepon atas nama Sadikin. Uang tersebut diserahkan di Plaza Indonesia, Jakarta.
“Untuk Nistra Komisi I DPR RI saya serahkan di Andara, di Sentul,” ujar Windi lagi.
Irwan dalam BAP-nya membenarkan Windi sebagai kurir untuk mengambil dan mengantarkan uang kepada sejumlah orang. Dan itu permintaan dari Anang Latif. Irwan mengaku mengetahui soal pemberian uang Rp 500 juta per bulan dari Anang Latif kepada mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate.
Terkait pengendalian atau pengamanan perkara kasus BTS 4G, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) juga menyinggungnya dalam permohonan praperadilan tidak sahnya penghentian TPPU dalam kasus korupsi BTS 4G Bakti Kemenkominfo pada 15 Juni lalu. Pada poin 8 permohonannya, MAKI meminta penyidik Kejagung menjerat mereka yang diduga terlibat dalam perkara korupi BTS 4G dengan TPPU.
Mereka yang pantas dijerat TPPU menurut MAKI adalah Johnny G. Plate (mantan Menkominfo), Anang Achmad Latif (mantan Dirut Bakti), Jimmy Setjiawan (PT Fiberhome Technologies Indonesia dan pemilik PT Sansaine Exindo, subkontraktor untuk paket 1 dan paket 2 proyek BTS 4G), Yusrizki (PT BUP) dan oknum anggota Komisi I DPR yang menerima uang, oknum anggota BPK, seluruh pemilik perusahaan pemborong dan pemilik perusahaan subkontraktor serta makelar kasus (markus).
Bahkan, tulis MAKI, diduga terdapat makelar kasus lain dengan nama samaran Pinangku Dening Sirra, yang diduga terlibat mengurusi pemborong besar pada proyek BTS 4G sebagai pihak penadah TPPU. Juga memanfaatkan penanganan kasus korupsi aquo untuk memperkaya diri sendiri atau pihak lain secara melawan hukum, yang mengakibatkan penanganan perkara menjadi tebang pilih.