Pakar Pidana Dorong KPK dan Jaksa Agung Sanksi Jampidsus karena Belum Lapor LHKPN
Dalam rangka memperingati Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) 2024, Jaksa Agung ST Burhanuddin mengeluarkan 7 perintah harian. Jaksa Agung Burhanuddin mengimbau para jaksa untuk menghayati dan menjadikannya sebagai pedoman dalam bertugas.
Dari 7 perintah harian itu pada poin pertama meminta jaksa membangun budaya kerja yang terencana, prosedural, terukur dan akuntabel dengan terwujudnya kepatuhan internal serta mitigasi risiko untuk mencapai tujuan organisasi. Berbicara kepatuhan internal, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, jaksa sebagai salah satu penyelenggara negara yang wajib melaporkan harta kekayaannya (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lantas bagaimana kepatuhan internal jaksa soal LHKPN itu? Menurut Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, pihaknya mencatat ribuan pegawai Kejaksaan RI termasuk Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah belum melengkapi LHKPN. Dari hasil penelusuran di situs resmi KPK, Febrie terakhir kali melaporkan LHKPN pada 2022 dengan nilai lebih dari Rp 6,3 miliar.
“Yang bersangkutan (Febrie) belum kirim sama sekali. Jadi belum tayang yang terbaru di e-LHKPN. Kita sedang verifikasi. Kalau sudah oke baru tayang di e-LHKPN,” kata Pahala ketika dihubungi di Jakarta pada 24 Juni lalu.
Padahal pelaporan LHKPN, kata Pahala, merupakan salah satu upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Karena itu, langkah Febrie sebagai Jampidsus belum melaporkan LHKPN disebut sangat disayangkan karena hal tersebut cara mencegah korupsi di level individu.
“(Bila) tidak melaporkan harta, atau ada transaksi penerimaan di luar profil, serta melapor tidak sesuai dan lain-lain itu indikasi dari pidana korupsi. Biasanya penerimaan gratifikasi/suap,” tambah Pahala.
Sementara itu, pengamat hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakkir menambahkan, penyelenggara negara seperti Jampidsus Febrie wajib melaporkan harta kekayaannya ke KPK. Apalagi itu merupakan amanat dari UU.
“Lapor harta kekayaan pejabat lewat LKHPN masuk hukum administrasi dan dikenakan sanksi hukum administrasi. Sejak LKHPN di bawah KPK tidak berfungsi secara maksimal sebagai pencegah korupsi dan kurang ditakuti pejabat negara,” kata Mudzakkir saat dihubungi pada Juni 2024.
Soal dugaan ada harta yang tidak dilaporkan Febrie dalam LHKPN periode 2022, menurut Mudzakkir, jika informasi itu benar, maka Jaksa Agung Burhanuddin dinilai berwenang menegur atau memberhentikan pejabat yang tidak patuh dalam LHKPN. “(Ini) sanksi yang tergolong berat, karena dapat ditiru bawahannya secara nasional sebagai pembangkangan terhadap LHKPN karena tidak memenuhi kewajiban,” kata Mudzakkir.
Karena itu, kata Mudzakkir, pihaknya mendorong KPK untuk memperingatkan Febrie karena belum menyerahkan kelengkapan LHKPN. “KPK memiliki kewajiban untuk menegur dan memberi peringatan dan jika (Febrie) tidak (melaporkannya) dapat dikenakan sanksi administrasi karena tidak menjalankan tugasnya secara baik dan benar. Jika karena hal itu pejabat melakukan korupsi maka pejabat LHKPN telah melakukan pembiaran terjadinya korupsi,” kata Mudzakkir.
Menurut Mudzakkir, lapor LHKPN menjadi syarat mutlak bagi penyelenggara negara yang transparan terhadap pekerjaannya. Apalagi posisi Jampidsus memiliki kedudukan yang strategis.
“Seharusnya menjadi bagian dari syarat untuk menduduki jabatan tertentu. Dan esèlon tertentu memiliki kewajiban untuk lapor dan jika tidak dikenakan sanksi administrasi,” kata Mudzakkir.
Berdasarkan LHKPN 2022, Jampidsus Febrie memiliki total harta kekayaan senilai lebih dari Rp 6,3 miliar. Setelah ditelusuri, Febrie diduga memiliki rumah di kawasan Jalan Radio 1 Nomor 15, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Luasnya lebih dari 500 meter, bercorak arsitektur Eropa, berwarna putih dengan pagar hitam yang tinggi sekitar 2 meter.
Rumah ini tidak masuk dalam LHKPN Febrie. Berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) 2022 di Jakarta Selatan, harga tanah mencapai 30 juta per meter sehingga dengan luas tanah lebih dari 500 meter, maka nilainya mencapai sekitar Rp 15 miliar.
Ketika ditanyakan melalui aplikasi perpesanan Whatsapp apakah rumah ini sama dengan yang tertera di LHKPN-nya, Febrie sama sekali tidak menjawab. Berdasarkan penelusuran wartawan theiconomics.com, sesuai yang tertera dalam data kependudukannya, Febrie menaruh alamat di Jalan Lobak IV No. 8, Kelurahan Pulo, Kebayoran Baru. Soal ini pun Febrie sama sekali tidak menjawabnya.
Seorang warga yang menjadi pedagang kopi menyebut rumah tersebut milik seorang jaksa. “Ada juga rumah kepala Kepolisian RI di sini,” tutur warga yang tak mau menyebutkan namanya pada 24 Juni 2024.
Untuk memastikan pemilik rumah itu, wartawan theiconomics.com segera menghampiri penjaga rumah yang berseragam TNI. Apakah rumah tersebut milik Febrie Adriansyah, Jampidsus di Kejaksaan Agung (Kejagung)? “Saya hanya jaga, janganlah saya, nanti malah jadi ribut,” jawab anggota TNI tersebut.
Sedangkan di LHKPN Rugun Saragih periodik 2022, jaksa fungsional yang merupakan istri Febrie tertera tanah seluas 638 meter persegi dan luas bangunan 200 meter persegi berada di Jakarta Selatan dengan harga Rp 10.829.474.000. Rugun dalam LHKPN itu mengaku mendapatkan tanah dan bangunan seluas itu dari hibah dengan akta.
LHKPN Suami-Istri Harus Sama
Perbandingan LHKPN Febrie dan istrinya itu tentu saja menimbulkan pertanyaan. Mengapa harta Rugun yang hanya jaksa fungsional lebih tinggi dibandingkan Febrie yang kini menjabat sebagai Jampidsus Kejagung atau setara eselon 1? Bahkan beberapa harta Rugun tidak masuk sebagai kekayaan Febrie. Begitu pula sebaliknya.
Soal ini, Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, sepanjang tidak ada perjanjian pisah harta, maka isian LHKPN suami-istri (Febrie-Rugun) sebagai penyelenggara negara harusnya sama. “Seharusnya sama dalam semua jenis harta maupun cara perolehannya,” ungkap Pahala.
Menanggapi penelusuran LHKPN Jampidsus itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengaku belum mengetahui soal jumlah jaksa dan pejabat yang belum melaporkan LHKPN. Harli berjanji akan menanyakannya ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejagung.
“Kita tanyakan dulu ke (Pengawasan), karena datanya ada di sana,” ujar Harli.