Satgas Waspada Investasi Beri Penjelasan Soal Bank Dilarang Fasilitasi Transaksi Kripto

0
515

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melarang perusahaan jasa keuangan termasuk bank untuk memfasilitasi transaksi kripto di Indonesia. Di dalam Undang-Undang Perbankan, kegiatan usaha bank tidak termasuk perdagangan komoditi seperti aset kripto yang kini pengaturan dan pengawasannya berada di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komodoti (Bappebti).

Terkait dengan larangan dari OJK tersebut, Satgas Waspada Investasi dimana di dalamnya juga termasuk OJK memberikan penjelasan. Satgas menyatakan bahwa larangan tersebut memang sesuai dengan pasal 6 dan 7 Undang-Undang Perbankan yang mengatur soal kegiatan usaha perbankan.

“Di sana [pasal 6 dan 7] tidak ada mengatur mengenai kegiatan usaha bank termasuk di perdagangan komoditi. Oleh karena itu, di pasal 10 juga dikatakan bahwa bank dilarang melakukan usaha selain pasal 6 dan pasal 7. Oleh karena itu, bank memang tidak boleh memfasilitasi transaksi perdagangan atau memfasilitasi perdagangan aset kripto (seperti) menjadi agen penjual, menempatkan dana di dalam aset kripto, itu dilarang,” jelas Tongam L Tobing saat temu media, Senin (21/2).

Tetapi, tambah Tongam, dalam rangka kegiatan intermediasi perbankan dimana fungsi dari perbankan itu menghimpun dana masyarkat dan memberikan kredit kepada masyarakat ini tetap bisa dilakukan.

Baca Juga :   Komisi XI DPR Minta OJK Ambil Tindakan Tegas dan Cepat Soal Muamalat dan Jiwasraya

“Jadi, yang dilarang itu adalah memfasilitasi transaksi, memfasilitasi peradgangan aset kripto. Tetapi dalam hal perbankan digunakan untuk memperlancar transaksi pembayaran masyarakat ini tentunya sesuai dengan tugas atau kegiatan usaha perbankan dalam rangka menghimpun dana dan memberikan kredit. Jadi, investor atau pedagang aset kripto bisa menabung tetap di bank atau melakukan kredit untuk kegiatan-kegiatan produktif yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan,” ujarnya.

Statemen OJK terkait larangan bank untuk memfasilitasi aset kripto ini menjadi polemik karena ketidakjelasan cakupan makna ‘memfasilitasi’. Di dalam transaksi pembelian dan penjualan aset kripto, investor atau trader umumnya melakukan top-up dana (uang) ke akun mereka di exchange (pedagang fisik aset kripto) melalui rekening bank yaitu dari rekening nasabah ke rekening milik exchange. Dana yang didepostikan (top-up) itu kemudian tercatat pada akun milik pengguna (investor/trader).

Karena ketidakjelasan cakupan definisi ‘memfasilitasi’ tersebut, beberapa waktu lalu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda, menilai janggal soal larangan OJK kepada bank untuk memfasilitasi transaksi aset kripto.

Baca Juga :   OJK Beberkan Kinerja Pasar Modal Indonesia 2021

“Bagaimana bisa investor membeli atau berinvestasi aset kripto kalau tidak bisa menggunakan rekening bank sebagai jembatan untuk beli atau jual aset kripto ke pedagang kriptonya? Kan ini aset digital, masa iya beli dan jualnya lewat pedagang langsung secara offline,” tegas Nailul.

Sementara itu, Direktur PT TRFX Garuda Berjangka, Ibrahim Assuaibi, mengungkapkan adanya gesekan dengan OJK akan berdampak pada telatnya peluncuran bursa kripto. Sebab, fungsi lembaga keuangan, dalam hal ini bank nantinya akan sebagai kustodian untuk perdagangan aset kripto. Kustodian ini paling penting posisinya.

“Jadi saya tidak heran kenapa launching bursa kripto ini molor terus dari semester II/2021 lalu, rupanya ada deadlock antara Bappebti dan OJK dalam melaksanakan perdagangan aset kripto yang diakui negara, dalam hal ini bursa kripto,” ungkap Ibrahim.

Leave a reply

Iconomics