
Terus Diblokir, Mengapa Pinjol Ilegal Masih Saja Ada?

Teguh Arifiyadi, Plt.Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika
Satgas Waspada Investasi (SWI) sudah memblokir sebanyak 3.365 entitas pinjaman online (pinjol) ilegal. Meski demikian, tawaran pinjol dari perusahaan atau entitas tak berizin dan tak terdaftar di OJK ini masih saja marak.
“Persoalan terberat layanan fintech ilegal ini, meskipun sudah diblokir oleh Kementerian Kominfo, [tetapi] masih tetap dicari,” ungkap Teguh Arifiyadi, Plt.Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam webinar ‘Memerangi Pinjol Ilegal dan Memperkuat Reputasi Fintech Lending’ yang digelar The Iconomics, Jumat (30/7).
Teguh mengatakan aplikasi pinjol ilegal ini memang bisa diblokir sehingga tidak ditemukan di Applicatoin Store (App Store). Tetapi, pengguna jasa masih mencarinya melalui APK (Android Package Kit).
“Nah APK-APK ini bisa di-instal tanpa melalui Play Store. Kalau sudah diblokoir Kominfo di Play Store atau di Apss Store, sementara pemilik handphone itu membuka ruang untuk meng-instal APK yang tidak ada di playstore, ya sudah,” ujar Teguh.
Artinya, tambah Teguh, jasa pinjol ilegal ini memang ada yang membutuhkannya. Atau dengan kata lain, pasarnya memang ada.
“Kalau sudah begitu, bagaimana peran pemerintah? Pemerintah tidak mungkin memonitor semua APK. APK itu bentuknya data mentah, data telanjang. Kalau APK di-share melalui WhatsApp group, siapa yang bisa baca? Pemerintah mana pun enggak bisa baca karena layanan [WhatsApp] grup itu adalah layanan komunikasi privat,” ujarnya.
Kendala lain mengapa fintech ilegal ini masih marak adalah karena aplikasnya mudah direplikasi. “Gampang dibikin ulang karena hanya menggantik cover, yang tadinya warnanya kuning, jadi orange. Yang tadinya namanya misalnya Pinjamandana diubah menjadi Danapinjaman. Tetapi, engine-nya masih sama persis di belakangnya, orangnya sama, sumber uangnya sama,” ujarnya.
Ada kalanya, para pemain pinjol ilegal ini, menurut Teguh juga menggunakan strategi hit and run. Artinya, menjaring korban dulu. Ketika sudah mendapatkan korban, meski belum banyak, mereka langsung ganti aplikasi. “Belum sempat diblokir, baru dilaporkan, mereka sudah hilang. Itu terjadi juga,” ujarnya.
Masalah lain yang ditemukan, ungkap Tehuh, adalah walaupun website atau aplikasinya sudah diblokir, tetapi peminjam mengakses dengan menggunakan VPN. “Kita sudah batasi, tetapi orangnya masih mau akses, mau masuk. Ini juga menjadi satu kendala,” ujarnya.
Tongam Lumban Tobing mengatakan masalah pinjol ilegal yang masih marak ini memang harus dilihat dari dua sisi. Dari sisi entitas pinjolnya yang menawarkan pinjaman dan dari sisi masyarakat yang membutuhkan pinjaman.
“Ini kita harus berlaku adil. Bukan hanya pinjolnya yang harus kita benahi, masyaratnya pun harus kita benahi. Kesiapan masyarakat dalam literasi digital. Literasi keuangan harus dibarengi juga dengan literasi digital,” ujarnya.
Dari sisi pelaku pinjol, senada dengan Teguh, Tongam mengatakan sangat mudah untuk membuat aplikasi pinjol. Sehingga ketika saat ini diblokir, dengan mudah dan cepat juga dia bisa mengganti dengan yang baru. Server pinjol ilegal ini juga umumnya berada di luar negeri sehingga membutuhkan kerja sama lintas negara untuk mengatasinya.
Dari sisi masyarakat, ada masyarakat yang memang tingkat literasinya, baik literasi keuangan maupun digital, masih rendah. Untuk kategori masyarakat seperti ini, solusinya tentu melalui edukasi. “Tetapi di sisi lain, memang ada masyarakat kita yang memang sangat kesulitan ekonomi,” ujarnya.
Kategori masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi ini juga tidak memiliki akses untuk meminjam ke lembaga keuangan karena tidak memenuhi syarat. Bahkan pinjam ke tentangga dan keularga pun sudah tak bisa. “Ini menjadi tugas kita bersama dan pemerintah daerah tentunya untuk lebih meningkatkan akses mereka kepada sektor-sektor keuangan. Misalnya menjadi anggota Koperasi Simpan Pinjam (KSP) atau masuk ke Lembaga Keuangan Mikro (LKM),” ujarnya.
Baik Teguh maupun Tongam mengatakan pemblokiran atas fintech atau pinjol ilegal tetap diperlukan untuk mengerem perkembangan mereka. Teguh mengatakan setelah mendapat rekomendasi dari OJK untuk melakukan pemblokiran, pihak Kementerian Kominfo hanya membutuhkan satu kali klik saja untuk memblokir satu aplikasi atau situs pinjol ilegal. Sementara untuk duplikasi atau replikasi aplikasi membutuhkan waktu paling cepat 10 menit aau 30 jam. “Sementara kami di Kominfo kurang dari satu menit kami bisa mematikan [memblokir],” ujarnya.
Karena itu, Teguh mengatakan pemblokiran ekfektif untuk menekan jumlah pengunduh satu aplikasi. Karena kalau sudah diblokir, maka pinjol ilegal itu harus dari nol lagi untuk mencari pengunduh yang baru.
Leave a reply
