Gubernur BI Beberkan Pelajaran Bagi Indonesia dari Penutupan Bank di Amerika Serikat

0
430

Penutupan tiga bank di Amerika Serikat yaitu Silvergate Bank, Silicon Valley Bank, dan Signature Bank, menjadi pelajaran berharga bagi regulator dan pelaku industri di Indonesia, meskipun dampak langsung dari penutupan ketiga bank tersebut tidak berimbas ke Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo mengatakan menyusul penutupan ketiga bank di Negeri Paman Sam tersebut, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri atas Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), langsung berkoordinasi untuk menilai kondisi perbankan di dalam negeri.

“Kami memang di KSSK, Bu Menteri Keuangan, saya, Pak Mahendra, Pak Purbaya, langsung bergerak untuk bagaimana melakukan asesmen masing-masing dalam suatu koordinasi dan langkah-langkah apa yang perlu dilakukan,” ujar Perry dalam konferensi pers, Kamis (16/3).

Perry mengatakan dalam melakukan asesmen kondisi perbankan domestik, Bank Indonesia juga melakukan penilaian terhadap penyebab keruntuhan bank-bank di Amerika Serikat tersebut. Dari asesmen terhadap penyebab keruntuhan bank-bank tersebut, menurut Perry, sejumlah pelajaran berharaga didapat.

Pertama, ketiga bank yang bangkrut ini memiliki model bisnis yang tidak stabil. Alasannya, dana pihak ketiga (DPK) atau deposit funding yang dimiliki ketiga bank ini terkonsentrasi pada deposan-deposan besar. Menurutnya, 93% dana pihak ketiga dari bank-bank yang tutup ini terkonsentrasi pada deposan besar dan juga dalam klaster yang sama yaitu berkaitan dengan startup dan perusahaan teknologi finansial.

Baca Juga :   Ada Penyalahgunaan QRIS, Bank Indonesia Ingatkan Masyarakat, PJP dan Pedagang

“Dari sisi funding-nya, terkosentrasi 93% pada deposan besar dan kemudian deposan besar karakteristiknya sama. Ini rentan terhadap funding,” ujar Perry.

Sementara itu, di sisi aset, sebagian besar portofolio yang dimiliki ketiga bank ini adalah surat berharga milik pemerintah Amerika Serikat. Dari sisi risiko gagal bayar, obligasi pemerintah memang rendah.

“Tetapi, yang menjadi isu adalah risiko valuasi. Karena surat-surat berharga yang dipegang oleh bank ini sebagian besar adalah available for sale (AFS), sehingga kena mark to market (MTM) valuasi. Sebagian kecil, bahkan sangat kecil, yang hold to maturity (HTM),”ujarnya.

Kepemilikan besar pada surat berharga atau efek available for sale  ini menimbulkan kerentanan dari sisi valuasi. Pada saat Federal Reserve agresif menaikkan suku bunga acuan, harga obligasi ini jatuh dan yield atau imbal hasilnya naik. Akibatnya, terjadi valuasi negatif. Valuasi negatif inilah yang kemudian menggeroti modal bank.

“Barangnya (obligasi) sih aman. Tetapi karena available for sale makanya mark to market loss. Loss ini yang menggerogoti modal,” ujar Perry.

Untuk mengatasi krisis modal ini, Silicon Valley Bank (SVB) melalukan IPO. Namun, menurut Perry, penawaran saham perdananya itu gagal. Kegagalan IPO ini kemudian menimbulkan rumor. Rumor inilah yang memicu terjadinya bank run atau penarikan dana secara masif oleh para deposan. Seperti tadi disebutkan, deposannya ini terkonsentrasi pada deposan tertentu.

Baca Juga :   5 Langkah Strategis Pengendalian Inflasi dari Pemerintah-BI

Bagaimana dengan di Indonesia?

Perry mengatakan profil bank-bank yang bangkrut di Amerika Serikat ini menjadi pelajaran bagi Indonesia. “Ini perlu kita pelajari supaya kita bisa melihat asesmennya di Indonesia. Kita melihat bank-bank di Indonesia, apakah terjadi konsentrasi deposan enggak? Sebagian besar tidak. Umumnya bahwa konsetrasi deposan, misalnya top 10 deposan itu mungkin 10-15%. Ada satu dua bank yang mungkin tidak lebih dari 35%-40%. Sehingga deposit funding itu cukup terdiversifikasi. Sehingga itu memperkuat ketahanan funding-nya dari bank,” beber Perry.

Kemudian dari sisi risiko valuasi aset bagaimana? “Yang jelas kalau risiko valuasi langsung, risko dampak langsung hampir nol. Sebagian besar bank-bank kita itu tidak menananamkan dananya pada tiga bank ini, tidak menjadi deposan dari ketiga bank ini, sehingga dampak langsungnya itu memang tidak ada. Bank-bank di Indonesia jarang juga kepemilikannya pada obligasi valas Amerika, US Treasury, itu enggak terlalu besar,” ujar Perry.

Namun, yang kemudian dicermati oleh Bank Indonesia adalah valuasi aset bank-bank ini pada Surat Berharga Negara (SBN) yaitu obligasi yang diterbitkan pemerintah Indonesia.

Baca Juga :   Presiden Lantik Aida Budiman Jadi Anggota DK LPS, Simak Profil Singkatnya

“Kami lakukan stress test. Dan stress test tergantung, apakah bank-bank ini memengang SBN, itu available for sale (AFS) atau hold to maturity (HTM)? Sebagian besar tahun lalu, bank-bank di Indonesia mulai menggeser SBN-nya ke HTM. Ada yang 35%, ada yang 40%, bahkan lebih 50%. Memang ada beberapa yang masih harus meningkatkan porsi dari HTM-nya,” beber Perry.

Perry mengatakan meskipun ada tekanan suku bunga, kenaikan yield SBN tidak terlalu tinggi. Selain itu, bank-bank juga sudah menggeser portofolio SBN mereka ke hold to maturity (HTM). Kalaupun ada bank-bank yang mengalami valuasi negatif, di sisi lain mereka juga sudah membentuk Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN).

“Sehingga secara keseluruhan asesmen stress test kami menyimpulkan bahwa kondisi perbankan di Indonesia berdaya tahan terhadap dampak ini dan terus terang kita terus melakukan pemantauan” ujar Perry.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics