
Kematian Suporter di Kanjuruhan adalah Tragedi Kemanusiaan yang Perlu Diusut Tuntas

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid/Istimewa
Amnesty International Indonesia menilai kematian ratusan orang yang menjadi korban selepas pertandingan sepak bola antara Persebaya dan Arema pada 1 Oktober lalu betul-betul tragedi kemanusiaan yang menyeramkan sekaligus memilukan. Apalagi, perempuan dan laki-laki dewasa, remaja dan anak di bawah umur, menjadi korban jiwa dalam tragedi ini.
“Kami sampaikan duka cita mendalam kepada keluarga korban, pun kepada korban luka yang saat ini sedang dirawat, kami berharap pemulihan kondisi yang segera,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.
Usman menuturkan, penggunaan kekuatan aparat keamanan negara yang berlebihan untuk mengatasi atau mengendalikan massa suporter sepak bola tidak bisa dibenarkan sama sekali. Karenanya, tragedi tersebut harus diusut tuntas dan bila perlu bentuk segera tim pencari fakta gabungan.
Tragedi Kanjuruhan ini, kata Usman, mengingatkan kita pada tragedi sepak bola serupa di Peru 1964 yang ketika itu menelan korban jiwa lebih dari 300 orang. Itu terjadi karena tembakan gas air mata yang diarahkan polisi ke kerumunan massa lalu membuat ratusan penonton berdesak-desakan dan mengalami kekurangan oksigen.
Berselang 58 tahun kemudian, kata Usman, insiden seperti itu berulang di Indonesia. Peristiwa demikian tidak seharusnya terjadi jika aparat keamanan memahami betul aturan penggunaan gas air mata.
“Tentu kami menyadari bahwa aparat keamanan sering menghadapi situasi yang kompleks dalam menjalankan tugas mereka, tapi mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk orang yang dicurigai melakukan kerusuhan,” tutur Usman.
Dalam kasus ini, kata Usman, akuntabilitas negara akan diuji. Itu sebabnya, Amnesty International Indonesia mendesak negara untuk menyelidiki secara menyeluruh, transparan dan independen atas dugaan penggunaan kekuatan berlebihan yang dilakukan aparat keamanan serta mengevaluasi prosedur keamanan dalam acara yang melibatkan ribuan orang.
Latar Belakang
Sebelumnya, pertandingan antara Arema FC dan Persebaya yang berlansung di Stadion Kanjuruhan itu berakhir 2-3 berjalan normal. Persoalan mulai datang ketika wasit meniupkan peluit tanda pertandingan berakhir dengan kekalahan Arema. Berawal dari hanya 1 atau 2 orang suporter Arema memasuki lapangan yang ingin menanyakan dan memotivasi pemain Arema.
Akan tetapi, suporter Arema kian banyak yang memasuki lapangan. Kondisi semakin ricuh karena suporter mulai berdatangan dari berbagai sisi stadion. Mereka ingin meluapkan kekecewaannya kepada pemain. Setelah itu, berbagai macam benda beterbangan ke arah lapangan. Aparat keamanan melakukan berbagai upaya untuk memukul mundur para suporter.
Suporter Arema yang turun ke lapangan semakin banyak dan diduga menyerang aparat keamanan. Hal ini kemudian memicu aparat keamanan menembakkan gas air mata ke arah tribun suporter Arema, dan membuat suporter di tribun itu berdesakan membubarkan diri keluar stadion lalu terjadi penumpukan massa.
Akibat kejadian ini, lebih dari 130 orang tewas termasuk 2 aparat kepolisian dan ratusan luka-luka. Berdasarkan FIFA Stadium Safety and Security Regulation Pasal 19 menyebutkan bahwa penggunaan gas air mata dan senjata api dilarang untuk mengamankan massa dalam stadion. Bahkan dalam aturan itu juga disebutkan bahwa kedua benda tersebut dilarang dibawa masuk dalam stadion.
Paparan gas air mata menyebabkan sensasi terbakar dan memicu mata berair, batuk, rasa sesak di dada dan gangguan pernapasan serta iritasi kulit. Dalam banyak kasus, efek gas air mata mulai terasa dalam 10 hingga 20 menit. Namun demikian, efek gas air mata memiliki dampak yang berbeda ke tiap orang.
Anak-anak, perempuan hamil dan lansia lebih rentan terhadap efeknya. Tingkat keracunan dapat berbeda pula bergantung dari spesifikasi produk, kuantitas yang digunakan, dan lingkungan di mana gas air mata ditembakkan. Kontak dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan beberapa risiko kesehatan.
Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat negara berdampak langsung pada hak untuk hidup, yang dilindungi Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang wajib dipatuhi Indonesia sebagai negara pihak. Karena itu, penggunaan kekuatan harus sesuai dengan perlindungan hak asasi manusia yang ketat sebagaimana diatur secara lebih rinci dalam Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990). Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh UU Nomor 39/1999 Tentang HAM hingga Peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi (No. 1/2009).
Sedangkan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD sebelumnya mengatakan, pertandingan antara Persebaya dan Arema yang berlangsung pada 1 Oktober lalu yang kemudian menimbulkan tragedi Kanjuruhan bukan karena bentrok antar-suporter. Soalnya suporter Persebaya dilarang menonton, hanya suporter Arema yang ada di lapangan.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penyebab kematian lebih dari 130 orang itu karena sesak napas. Lalu, apakah sesak napas itu karena tembakan gas air mata yang diarahkan ke penonton yang berada di tribun? Menurut Budi, penyebab kematian lebih karena desak-desakan di antara penonton khususnya ketika kerurusuhan pecah.
Leave a reply
