
MRP Papua Sampaikan Aspirasi soal DOB, Wakil Ketua DPR Setuju Tunda hingga Putusan MK

Dari kiri ke kanan: Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait, Ketua MRP Timotius Murib, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Panitia Musyawarah MRP Benny Sweny, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Gedung Nusantara III DPR, Jakarta, Selasa (26/4)/Dokumentasi MRP Provinsi Papua
Penduduk asli Papua harus diberi kesempatan untuk menyampaikan masukan atas kebijakan perubahan Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus Provinsi Papua tahun 2021 dan pembentukan daerah otonomi baru (DOB). Karena itu, wajar Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua berupaya menyalurkan aspirasi orang asli Papua terutama berkaitan dengan DOB itu.
“Ini bagus, dan perlu dicarikan jalan keluar yang terbaik agar tidak menimbulkan eskalasi konflik yang tinggi,“ kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat menerima delegasi pimpinan MPR Provinsi Papua Timotius Murib di Gedung Nusantara III DPR, Selasa (26/4).
Dasco menuturkan, pihaknya sudah mendengarkan aspirasi yang disampaikan pimpinan MRP Provinsi Papua itu. Setidaknya ada 2 poin yang bisa dipetik dari pertemuan tersebut, pertama tentang evaluasi otonomi khusus agar transparan dan terbuka bagi MRP untuk melaksanakan tugas sesuai UU; kedua, terkait aspirasi menunda DOB.
“Memang pada 12 April lalu, rapat paripurna sudah mengesahkan 3 RUU DOB sebagai inisiatif DPR. Tapi, dengan masukan MRP, saya akan sampaikan ke pimpinan DPR lainnya, termasuk rekan-rekan di Komisi II, agar mempertimbangkan penundaan RUU DOB sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK),“ kata Dasco.
Menurut Dasco, aspirasi tersebut sangat masuk akal karena penduduk asli Papua yang merasakan dampak dan manfaat UU Otsus. Terlebih aspirasi MRP itu setelah meminta masukan dari penduduk di 28 kabupaten.
Karena itu, kata Dasco, meski pihaknya saat ini sedang menunggu surat presiden terkait RUU DOB itu, tapi akan disampaikan bahwa pembahasannya sebaiknya ditunda dulu hingga ada putusan MK.
Ketika bertemu Dasco, pimpinan MRP Provinsi Papua Timotius meminta DPR untuk menangguhkan rencana pembentukan DOB. Alasannya, pertama, pemerintah sedang memoratorium kebijakan pemekaran wilayah dan pembentukan DOB. Kedua, rencana kebijakan DOB tidak didukung kajian ilmiah.
Ketiga, kata Timotius, pengalaman dalam pembentukan DOB selama ini tidak memiliki pendapatan asli daerah yang tinggi, bahkan rendah sehingga membebani anggaran pendapatan belanja negara (APBN). Keempat, DOB tidak dilakukan dengan aspirasi dari bawah.
“Perubahan UU yang menambahkan ayat 1 dan ayat 2 membuat otonomi khusus tidak lagi menjadi pendekatan dari bawah ke atas, melainkan pendekatan dari atas ke bawah yang sentralistik,” kata Timotius.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang ikut mendampingi Timotius menambahkan, kebijakan yang sepihak dalam hal perubahan UU Otsus dan pemekaran provinsi jelas merugikan hak-hak orang asli Papua. Apalagi orang asli Papua berhak untuk memperoleh informasi tentang rencana-rencana kebijakan yang berdampak pada mereka.
“Mereka juga berhak untuk diajak konsultasi, termasuk memberikan pendapat. Dan mereka juga berhak untuk dimintai persetujuan terkait perubahan UU, pemekaran provinsi, atau rencana penambangan emas seperti di Intan Jaya,” ujar Usman.
Menurut Usman, jika pemerintah dan DPR mau menangguhkan rencana pembentukan DOB, maka hal itu bisa mengurangi peningkatan eskalasi konflik, kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. “Sudah ada 12 kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Intan Jaya. Dan sudah ada 2 orang asli Papua tewas ketika menyampaikan pendapat menolak DOB,“ kata Usman.
Sebelumnya, DPR lewat sidang paripurna pada 12 April lalu menyetujui 3 RUU DOB baru di Papua menjadi RUU inisiatif DPR. Tiga RUU DOB Papua tersebut adalah RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan Tengah.
Leave a reply
