
Pemerintah Dinilai Perlu Tegas Jaga Ketersediaan Batu Bara untuk Listrik Nasional

Anggota Komisi VII DPR Mulyanto/Iconomics
Anggota Komisi VII DPR Mulyanto mendesak pemerintah untuk menekan ekspor batu bara dan tegas kepada pengusaha yang tidak bekerja sama dengan PT PLN (Persero). Hal tersebut perlu dilakukan agar ketersediaan batu bara terjaga untuk listrik nasional.
Menurut Mulyanto, pemerintah sulit untuk mewujudkan target kewajiban pasokan batu bara dalam negeri (DMO) karena kompensasi perusahaan yang tidak kontrak dengan PLN lebih kecil dibanding yang bekerja sama, namun tidak memenuhi ketentuan yang diberikan. Hal tersebut dinilai tidak adil dan cenderung menyebabkan pengusaha lebih memilih untuk tidak menjalin kerja sama dengan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan PLN.
Sebagaimana aturan yang berlaku saat ini, kata Mulyanto, perusahaan yang sudah kontrak dengan PLN akan mendapatkan kompensasi sebesar US$ 188 per ton. Sementara bagi perusahaan yang tidak menjalin kontrak dengan PLN hanya dikenakan denda sebesar US$ 18 per ton.
“Pemerintah harus memperberat besaran kompensasi bagi pengusaha yang tidak mau kontrak dengan PLN. Kalau kompensasinya rendah, mereka lebih pilih bayar kompensasi dari pada mematuhi DMO,” kata Mulyanto dalam keterangan resminya, Kamis (4/8).
Karena itu, kata Mulyanto, pemerintah perlu mengantisipasi langkanya stok batu bara dalam negeri. Soalnya, pengusaha dalam negeri lebih memilih menjual batu baranya ke luar negeri, daripada harus memenuhi kebutuhan DMO untuk PLN.
Apalagi untuk saat ini, kata Mulyanto, harga batu bara global mencapai US$ 400 per ton, sedangkan harga DMO untuk PLN dibanderol rata sebesar US$ 70 per ton. Perbedaan harga yang terlampau tinggi itu dapat menjadi faktor para pengusaha tidak ingin menjual batu baranya ke dalam negeri.
“Sebab dengan volume yang sama bisa mendapat keuntungan lebih dari 5 kali lipat. Karenanya, kalau emerintah tidak bersikap tegas, maka aksi ekspor yang melanggar DMO ini akan menjadi-jadi. Ujung-ujungnya listrik kita padam,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Eksekutif Batu Bara PT PLN (Persero) Sapto Aji Nugroho mengatakan, pihaknya saat ini sedang menghadapi kesulitan terkait dengan pasokan batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Para pelaku usaha yang telah menjalin kontrak dengan PLN, enggan untuk memperpanjang kontrak tersebut.
Sapto menjelaskan, perbedaan harga penalti dan kompensasi yang sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2022 menjadi penyebab para pemasok batu bara memilih tidak memperpanjang kontrak dengan PLN.
Soal besaran penalti, kata Sapto, penambang yang berkontrak dengan PLN akan terkena berupa denda yakni sebesar harga pasar ekspor dikurangi harga batu bara dengan patokan HBA US$ 70. Untuk batu bara kalori 4.600, maka besaran denda yakni US$ 188 per ton.
Penambang yang tidak berkontrak dengan PLN walau spesifikasi batu baranya dibutuhkan oleh PLN, hanya dikenakan penalti berupa kompensasi. Jika batu bara kalori 4.600, maka besaran kompensasi hanya US$ 18 per ton.
“Disparitas harga antara ekspor US$ 412 dan PLN US$ 70. Disparitas DMO di pasar domestik. Kelistrikan berpatok HBA US$ 70, semen, pupuk dan industri lain berpatok HBA US$ 90, serta smelter sesuai harga pasar di mana kebutuhan batu bara smelter melonjak,” kata Sapto.
Leave a reply
