
Dongkrak User Experience Pengarsipan dengan Mengadopsi Metaverse dan Blockchain

Seminar Masa Depan Arsip, Sejarah, dan Budaya di Era Metaverse di Jakarta pada Senin (05/12//2022).
Iconomics - Era metaverse yang sudah di depan mata menjadi tantangan dalam pelestarian arsip, sejarah dan budaya. CEO Metaverse Indonesia Stephen Ng mengungkapkan bahwa semua tidak bisa lepas dari Metaverse karena teknologi seperti virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) sudah digunakan di sekitar, termasuk industri atau kehidupan sehari-hari.
Stephen mendeskripsikannya mengenai metaverse sebagai dunia virtual yang nantinya ditinggali bersama-sama. Di balik metaverse ini ada teknologi pendukung seperti AR, VR, dan artificial intelligence (AI).
Ia menyebut ada dua elemen dalam metaverse, yakni perekonomian dan peradaban. Khususnya peradaban, kini gen z disebut sudah mulai membiasakan kehidupan dengan metaverse dengan bermain game online. Namun, ia juga menyebutkan perbedaan metaverse dengan video game, yakni sinkronisasinya.
“Perbedaan video game dengan Metaverse ada disinkronisasinya. Metaverse tanpa logout, jadi berjalan linear dan tersinkronisasi dengan kehidupan,” kata Stephen dalam keterangan resmi yang diterima Senin (05/12/2022).
Adapun korelasi metaverse dengan pengarsipan dapat memberikan pengalaman yang menarik bagi para pengguna. Teknologi yang ada sebelum metaverse hanya untuk pengarsipan, seperti video dan suara. Di metaverse, peristiwa yang sudah terjadi bisa kembali dikreasikan ulang. Jadinya, pengakses arsip bisa seolah-olah berada di tempat kejadian.
“Tentu akan membawa pengalaman menjadi lebih menarik,” kata Stephen. “Jadi metaverse untuk belajar sejarah, bisa memberikan pengalaman seolah-olah berada di masa itu,” lanjutnya.
Founder sekaligus Presiden Komunitas Historia Indonesia Asep Kambali menyebutkan bahwa masih ada kesalahpahaman mengenai digital culture. Sebagian besar orang menganggap bahwa digital culture adalah memindahkan yang sudah ada menjadi digital. Padahal, digital culture atau budaya digital adalah cara hidupnya.
“Digital culture, yang dipahami oleh orang-orang saat ini, adalah memindahkan Candi Borobudur ke digital, atau sebagainya. Namun sebetulnya, diigital culture itu adalah cara hidup, bagaimana kita menciptakan kehidupan baru di era digital,” jelas Asep.
Menurut Asep, transformasi digital bukan sekadar mengganti teknologi, tapi juga mengubah paradigma berpikir. Salah satu paradigma berpikir yang mesti diubah adalah tidak membedakan alam nyata dengan maya.
“Padahal (alam nyata dengan maya) itu sama,” kata Asep. “Ketika berbicara kasar, efek yang diberikan akan sama. Karena biasanya kita bisa menggunakan nama atau foto samaran, kita jadi berani berbicara kasar. Padahal efeknya sama,” lanjut Asep.
Oleh karena itu, metaverse disebut juga extended universe, berarti semesta tambahan yang seharusnya tidak dibedakan.
Selain mengenai metaverse, teknologi blockchain juga dapat menjadi solusi pengarsipan. Stephen menjelaskan bahwa teknologi tersebut merupakan yang paling ideal. Menurutnya, penyimpanan arsip fisik saat ini secara volume akan berkembang, sehingga menjadi bencana bila nantinya ada peristiwa tak terduga.
“Dengan masuk ke blockchain, akan bisa lebih aman dan bisa disimpan dengan biaya bersama,” kata Stephen. Namun, kata Stephen, tidak semua arsip bisa diblockchainkan karena ada yang merupakan arsip rahasia negara.