
MAKI Desak Kejagung Cekal WNA yang Diduga Terlibat Dalam Kasus Slot Orbit Kemenhan

Kantor Kejaksaan Agung/Ist
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mencegah Thomas Van Der Heyden (swasta asing) karena diduga terlibat dalam dugaan korupsi pengadaan Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Nama ini disebut sebagai konsultan tenaga ahli yang diangkat PT DNK dan atau Kemhan untuk proyek tersebut.
“Kami telah membaca materi gugatan perlawanan yang diajukan Kemenhan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dengan register perkara Nomor 64/Pdt.G/2022/PN JKT.PST. Di situ menyebut nama Thomas Van Der Heyden,” tutur Koordinator Boyamin Saiman dalam keterangan resminya beberapa waktu lalu.
Boyamin mengatakan, Kemenhan mengajukan gugatan perlawanan itu untuk membatalkan putusan International Chambers of Commerce (ICC) di Singapura yang mewajibkan negara membayar hingga ratusan miliar. Lantas apa peran Thomas Van Der Heyden, warga negara asing (WNA) dalam kasus Slot Orbit 123 derajat BT itu?
Menurut Boyamin, pihaknya menelusuri sosok Heyden itu. Hasilnya, Heyden diduga memiliki identitas ganda dan lebih dari 2 identitas. Heyden, kata Boyamin, diduga sebagai orang yang mengatur atau memfasilitasi pihak-pihak yang diduga terlibat dengan kegiatan pengadaan dan sewa satelit Kemhan periode 2015 hingga 2020.
Selain sebagai tenaga ahli PT DNK dan Kemenhan, menurut Boyamin, Thomas Van Der Heyden diduga membawa misi tertentu kepentingan asing yang patut diwaspadai segala kiprahnya. Dan perlu ditelusuri lebih mendalam untuk menguak semua aktivitasnya demi menjaga kedaulatan NKRI.
“Thomas Van Der Heyden saat ini diduga telah meninggalkan wilayah Indonesia sehingga akan menyulitkan proses pemeriksaan penyidikan di Kejagung,” ungkap Boyamin.
Berdasarkan hal tersebut, kata Boyamin, pihaknya mendesak Kejagung untuk mencegah Heyden. Itu untuk memastikan agar dilakukan penangkapan jika Heyden memasuki wilayah Indonesia.
“Kami juga mendesak Kejagung jika punya bukti akan keterlibatan Heyden dalam kasus itu, maka perlu terbitkan daftar pencarian orang (DPO) dan bekerja sama dengan Interpol untuk terbitkan red notice agar bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Boyamin.
Kisah Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur bermula sejak Satelit Garuda-1 keluar orbit pada 19 Januari 2015. Fakta itu membuat terjadinya kekosongan pengelolaan oeh Indonesia. Berdasarkan aturanInternational Telecommunication Union (ITU) yang ada di bawah PBB, negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu 3 tahun untuk kembali mengisi slot itu. Jika tak dipenuhi maka slot dapat digunakan negara lain.
Slot ini dikelola Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kementerian Pertahanan lantas meminta hak pengelolaan yang beralasan pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Untuk mengisi slot itu, mereka menyewa Satelit Artemis yang merupakan satelit sementara pengisi orbit (floater) milik Avanti Communication Limited (Avanti).
Dari sini masalah mulai muncul. Kemenhan membuat kontrak dengan Avanti padahal belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Kontrak dengan Avanti diteken pada 6 Desember 2015, padahal persetujuan di Kominfo untuk pengelolaan Slot Orbit 123 baru keluar 29 Januari 2016.
Selain dengan Avanti, Kemenhan juga melakukan kontrak dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu 2015-2016. Saat itu juga anggaran belum tersedia. Pada 2016 anggaran sempat tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemenhan.
Selanjutnya, Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 Bujur Timur kepada Kemenkominfo pada 25 Juni 2018. Di bawah Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, keputusan tentang penggunaan filing satelit Indonesia pada Orbit 123 Bujur Timur untuk filing satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A diberikan pada pihak swasta, yakni PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).
Bertahun berlalu, PT DNK juga tak mampu menyelesaikan residu permasalahan akibat Satkomhan. Malah, Avanti kemudian menggugat Indonesia ke Pengadilan Arbitrase Inggris. Mereka menuding Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang ditandatangani.
Pada 9 Juli 2019, Pengadilan Arbitrase Inggris memutus Indonesia harus membayar denda sebesar Rp 515 miliar. Denda itu terkait dengan biaya sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, biaya filing satelit. Dan Kejagung menganggap denda senilai Rp 515 miliar itu sebagai kerugian negara sehingga disebut dugaan korupsi.
Leave a reply
