Guru Besar UGM: Program Prioritas B30 Harus Dilanjutkan

0
1258
Reporter: Petrus Dabu

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Dr Sri Adiningsih mengatakan mandatori B30 merupakan program prioritas nasional. Oleh karena itu program ini perlu diteruskan untuk penyelamatan dan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Sri Adiningsih meyakini kondisi pandemi Covid-19 ini sifatnya temporer. Keyakinan ini diperkuat dengan prediksi Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetery Fund/IMF) pada tahun depan kondisi perekonomian dunia akan pulih, bahkan perekonomian dunia akan tumbuh di atas 4%.

“Pemulihan ekonomi itu juga akan terjadi di Indonesia,” katanya, Rabu (17/6).

Sri Adiningsih memaklumi kondisi saat ini memang berat. Di masa pandemi Covid-19 ini, pemerintah telah bekerja keras untuk mengatasi pandemi Covid-19, dampak yang ditimbulkan dan pemulihan ekonominya. “Itu memang prioritas yang harus dilakukan pemerintah,” kata dia.

Namun dalam membangun negara dan bangsa, di kala ada goncangan ataupun krisis, tidak kemudian proses pembangunan yang telah berjalan lantas dihentikan atau diubah secara total. Jika terjadi krisis seperti saat ini yang perlu dilakukan adalah penyesuaian-penyesuaian terhadap program pembangunan yang sudah berjalan.

Baca Juga :   Bicara Mengenai Sawit, Menko Airlangga Bicarakan Tata Kelola Kelapa Sawit hingga EUDR Desember 2024

Semua pemangku kepentingan yang terkait program B30, saran Sri Adiningsih, sebaiknya berbagi peran atau menanggung beban bersama-sama agar program ini tetap bisa dilaksanakan. Misalnya saja, kata Sri Adiningsih, dunia usaha harus merelakan keuntungannya dikurangi seiring dengan meningkatnya pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya, per 1 Juni lalu.

Sementara itu, produsen biodiesel harus melakukan efisiensi supaya produk yang dihasilkan harganya bisa lebih kompetitif. Sementara itu pihak pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,78 triliun kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk keberlanjutan program ini.

Menurut Sri Adiningsih, pengalokasian anggaran negara tersebut tidak perlu dipersoalkan mengingat B30 yang merupakan bagian dari program energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE) ini di awal-awal pelaksanaannya memang membutuhkan biaya yang tidak murah.

“Di mana saja memang begitu. Brasil, Jerman dan di negara-negara yang akhirnya memberlakukan EBTKE, di awal-awalnya semuanya juga melakukan subsidi. Ini tidak hanya pada industri EBTKE saja, namun semua industri memang begitu. Di awalnya memang perlu subsidi, tapi saat kapasitas produksinya banyak maka dengan sendirinya akan efisien sehingga tak perlu subsidi lagi,” tutur Sri Adiningsih.

Baca Juga :   Produksi dan Volume Penjualan CPO Dharma Satya Nusantara Masih Naik di 2023, Tapi Kayu Masih Lesu

Jadi, kata Sri Adiningsih, program ini harus tetap dilaksanakan walaupun saat ini harga solar lebih murah jika dibandingkan dengan biodiesel. Perlu diingat bahwa, harga solar pun fluktuatif dan pernah di atas harga CPO yang merupakan bahan baku biodiesel, seperti yang terjadi pada 2019 lalu.

Program EBTKE itu, kata Sri Adiningsih, ke depan menjadi keharusan. Dunia ini tidak mungkin terus-terusan mengandalkan minyak bumi dan batu bara. “Program EBTKE ini kan harus kita lakukan, dan kita ini beruntung memiliki sawit melimpah yang menjadi resources untuk energi,” katanya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Halaman Berikutnya
1 2

Leave a reply

Iconomics