
Asal Rampas Aset Khususnya Dalam Kasus Jiwasraya-Asabri Dinilai Langgar HAM

Ilustrasi Jiwasraya-Asabri/Istimewa
Iconomics - Pakar hukum pidana Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad menilai penyitaan hingga perampasan aset masyarakat yang tidak terkait tindak pidana korupsi berpotensi melanggar hak asasi manusia(HAM). Soalnya aturan formulatif perampasan aset hasil tindak pidana korupsi terdapat di Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kebijakan perampasan aset, kata Suparji, terutama dalam rangka memenuhi uang pengganti, melalui mekanisme hukum pidana hanya dapat dirampas jika pelaku kejahatan oleh pengadilan telah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). “Sehingga apabila putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap, maka pidana tambahan berupa perampasan aset maupun uang pengganti tidak dapat dieksekusi,” kata Suparji dalam keterangannya, Kamis (29/7).
Sebelumnya, Kejaksaan Agung diduga melakukan perampasan aset masyarakat dan korporasi yang tidak terkait kasus korupsi Jiwasraya-Asabri. Bahkan para korban saat ini tengah melakukan upaya hukum dengan mengajukan keberatan serta melayangkan gugatan atas aksi kejaksaan yang melakukan penyitaan serta pelelang aset yang diduga ilegal.
“Bahkan berdasarkan non-conviction based asset forfeiture, perampasan aset yang tidak dapat dibuktikan secara sah asal-usul dari aset tersebut, perampasannya tidak dapat dibenarkan,” ujar Suparji.
Jika dikaitkan dengan HAM, kata Suparji, perampasan tersebut dapat menimbulkan pertentangan dengan asas praduga tak bersalah. “Hak atas kepemilikan aset oleh warga negara harus dilindungi dan dihormati oleh negara, sehingga terdakwa perlu menjelaskan di muka persidangan bahwa aset tersebut didapat secara sah, dan mengajukan keberatan di pengadilan sesuai Pasal 79 ayat 5 UU TPPU,” kata Suparji.
Sementara berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Dalam putusan, hakim harus melihat bahwa barang sitaan harus memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 39 ayat 1 KUHAP juncto Pasal 18 UU Tipikor. Sementara dalam konteks UU No. 8 Tahun 2020 tentang TPPU menyebut pihak ketiga yang beriktikad baik didefinisikan sebagai mereka yang sama sekali tidak terlibat dalam proses kejahatan pidananya, tidak menyadari keberadaannya digunakan atau dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan, dan tidak memiliki hubungan dan tidak dalam kekuasaan ataupun perintah pelaku TPPU.
Sementara menurut penelitian hukum normatif yang dilakukan pakar hukum pidana Patra M Zen, hukum pidana di Indonesia sangat terbatas mengatur perlindungan hukum pihak ketiga yang beritikad baik (bona fide third parties) dalam kaitannya dengan hak atas harta kekayaan. Akibatnya, terjadi ketidakadilan dan pelanggaran hak atas kekayaan pihak ketiga dalam proses hukum perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
Dalam Perlindungan Pihak Ketiga yang Beritikad Baik: Atas Harta Kekayaan Dalam Perkara Pidana, Patra menyebut jika penyitaan terhadap aset-aset dalam suatu perkara, seringkali dilakukan tanpa proses verifikasi dan hanya berdasarkan keterangan saksi.
Di sisi lain, kata Patra, putusan untuk merampas aset, apakah itu merupakan barang bukti ataupun aset yang diduga terkait tindak pidana, harus dibuktikan melalui pemeriksaan dan verifikasi. Apalagi saat ini marak kasus keberatan pihak ketiga ke PN Tipikor atas putusan perampasan aset pihak ketiga.
“Sering kali majelis hakim tidak menguraikan dasar alasan serta alat bukti untuk mendukung keyakinannya dalam putusan perampasan aset. Hal ini, menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran hak bagi pihak ketiga yang beriktikad baik dalam suatu perkara,” kata Patra.
Karena itu, kata Patra, Pasal 19 UU Tipikor sebetulnya bisa menjadi jalan bagi pihak yang keberatan untuk mengajukan gugatan perdata. Namun, diakui hanya sedikit mengatur mengenai perlindungan pihak ketiga.
Hal lain yang menjadi persoalan yakni Pasal 19 UU Tipikor adalah menyangkut definisi pihak ketiga beritikad baik. “Namun masalahnya mereka tidak pernah dihadirkan dan diperiksa untuk membuktikan harta kekayaan yang disita dalam sidang perkara terdakwa,” ujar Patra.
Dari 12 putusan yang diteliti dalam disertasinya, Patra menemukan adanya irasionalitas dalam due process of law perkara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. “Telah terjadi ketidakadilan dan pelanggaran HAM dalam due process of law dalam perkara korupsi dan tindak pidana pencucian uang di negeri ini,” urai Patra.
“Jika harta kekayaan yang dimiliki oleh pihak ketiga belum mendapat jaminan perlindungan hukum, maka akan melemahkan perwujudan keadilan sosial.”
Seperti diketahui, saat ini ada lebih 102 gugatan keberatan yang masuk ke PN Tipikor Jakarta terkait perampasan aset yang melibatkan ribuan pihak dalam proses penegakan hukum atas kasus korupsi dan gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya. Termasuk di antaranya keberatan dari 26 ribu lebih nasabah pemegang polis asuransi WanaArtha yang subrekening efeknya turut disita.