
Membandingkan Penyidikan Kasus Migor di Kejagung dan Kejati DKI, Apa Bedanya?

Jaksa Agung ST Burhanuddin (kiri) dan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Reda Manthovani (kanan)/Istimewa
Kendati tidak bisa dibandingkan antara satu kasus dengan lainnya, akan tetapi menarik melihat proses hukum yang dilakukan Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dalam hal minyak goreng. Dugaan korupsi terkait persetujuan ekspor minyak sawit (CPO) di Kejaksaan Agung terus berkembang dan baru-baru ini ada penambahan tersangka.
Karena itu, jumlah keseluruhan tersangka dalam perkara itu kini telah mencapai 5 orang. Kelima orang itu meliputi mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Group Stanley MA; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor; dan Manager General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang sebagai tersangka.
Untuk keempat orang ini, penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung menjeratnya dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dengan beberapa ketentuan perdagangan yang dijadikan dasar oleh penyidik sebagai perbuatan melawan hukum.
Sementara seorang ekonom dan konsultan, Lin Che Wei dikenakan dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Juncto, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah, dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Lin Che Wei dituduh bersama-sama dengan Indrasari Wisnu Wardhana mengkondisikan pemberian izin persetujuan ekspor (PE) di beberapa perusahaan.
“Pasal itu dikenakan sebagai bukti punya andil atau ikut serta. Tapi, yang penting perbuatan jahatanya yang perlu dibuktikan,” tutur pengamat hukum pidana dari UPN Veteran Jakarta, Beni Harmoni Harefa saat dihubungi beberapa waktu lalu.
Meski demikian, yang menarik juga ditelaah adalah penerapan pasal-pasal dalam UU Tipikor terhadap para tersangka. Mengapa? Pasalnya, penyidik hingga saat ini tidak ada menyebutkan kerugian negara atau perekonomian negara yang nyata akibat perbuatan para tersangka.
Padahal, sebagaimana yang diputus Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 demi kepastian hukum dan mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, maka terlebih dulu harus membuktikan adanya kerugian negara sebelum dilakukan penyelidikan perkara korupsi. Selanjutnya, unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss).
Berbeda dengan Kejagung yang bergerak cepat – walau terkesan tergesa-gesa – menjerat para tersangka, Kejati DKI Jakarta justru masih mengumpulkan bukti untuk membuat terang perkara dugaan korupsi ekspor minyak goreng lewat Pelabuhan Tanjung Priok periode 2021-2022. Berdasarkan hukum acara (KUHAP), proses hukum yang dilakukan kedua lembaga itu tak bisa dibandingkan antara satu dengan yang lainnya.
“Tidak bisa dibandingkan antara satu kasus dengan kasus yang lainnya,” ujar Beni lagi.
Akan tetapi, kata Beni, proses hukum dalam kedua kasus tersebut dipastikan bermula dari penyelidikan. Sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.
“Dalam pidana umum, setelah ditemukan peristiwa itu ada unsur pidananya maka dilakukan gelar perkara. Setelah itu akan dinaikkan ke tahap penyidikan,” kata Beni.
Penyidikan
Lantas apa itu penyidikan? Merujuk kepada KUHAP, kata Beni, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam tahap penyidikan ini, kata Beni, tidak serta merta langsung ada tersangka.
“Jadi, dalam tahap penyidikan ada 3 hal yang perlu diingat yakni mengumpulkan bukti, membuat terang tindak pidana dan menetapkan tersangka. Jadi tidak harus ada tersangka ketika naik ke tahap penyidikan,” ujar Beni.
Kejati DKI Jakarta sebelumnya telah menaikkan status penyelidikan ke tahap penyidikan dugaan korupsi ekspor minyak goreng lewat Pelabuhan Tanjung Priok periode 2021-2022. Karena itu, Kejati DKI menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Nomor: Print-1033/M.1/Fd.1/04/2022 tanggal 6 April 2022.
Sejak itu, Kejati DKI mengintensifkan pemeriksaan sejumlah saksi dalam kasus itu. Pemeriksaan secara intensif dilakukan terhadap 6 orang sebagai saksi. Untuk membuat terang dugaan tindak pidana korupsi dalam kasus ekspor minyak goreng ke Hong Kong lewat Tanjung Priok itu, maka penyidik juga mengagendakan pemeriksaan dan pemanggilan saksi lain.
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DKI Jakarta, Ashari Syam pada 26 April lalu menuturkan, pihaknya juga telah menyita dan menyegel barang bukti yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok.
“Tim penyidik pada Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati DKI Jakarta telah melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap satu unit kontainer Nomor: BEAU 473739-6,” ujar Ashari.
Ashari mengatakan, satu kontainer yang disita atau disegel dengan ukuran 40 feet yang berisikan 1.835 karton minyak goreng kemasan merek Bimoli milik PT AMJ yang disimpan di Jakarta International Container Terminal (JICT) I Pelabuhan Tanjung Priok.
Meski kedua kasus ini tidak bisa dibandingkan satu dengan lainnya, ada persamaan dari keduanya: penyidik baik di Kejagung maupun di Kejati DKI Jakarta sama-sama belum menetapkan kerugian keuangan atau perekonomian negara dalam perkara ini. Padahal, sesuai putusan MK, aparat penegak hukum harus membuktikan adanya kerugian negara atau perekonomian negara sebelum dilakukan penyelidikan perkara korupsi.
Leave a reply
