
Sesuai Perkiraan, Bank Indonesia Pertahankan BI Rate di Level 6%

Gedung Bank Indonesia/Anadolu Agency
Iconomics - Sesuai perkiraan analis Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19-20 November 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 6,00%, suku bunga Deposit Facility juga tetap sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility tetap sebesar 6,75%.
“Keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk tetap menjaga terkendalinya inflasi dalam sasaran yang ditetapkan pemerintah 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,”kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam konferens pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (20/11).
Perry mengatakan, fokus kebijakan moneter diarahkan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak semakin tingginya ketidakpastian geopolitik dan perekonomian global dengan perkembangan politik di Amerika Serikat.
Ke depan, Bank Indonesia terus memperhatikan pergerakan nilai tukar Rupiah dan prospek inflasi serta perkembangan data dan dinamika kondisi yang berkembang dalam mencermati ruang penurunan suku bunga kebijakan lebih lanjut,” ujar Perry.
Dalam paparannya, Perry menyampaikan, risiko perekonomian global semakin tinggi, pasca terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikart pada pemilihan umum awal November ini.
Risiko ini disertai dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan fragmentasi perdagangan.
“Perkembangan politik di AS diperkirakan akan diikuti dengan arah kebijakan fiskal lebih ekspansif dan strategi ekonomi berorientasi domestik atau inward looking policy, termasuk penerapan tarif perdagangan yang tinggi dan kebijakan imigrasi yang ketat,” kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam konferens pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (20/11).
Perry mengatakan, perkembangan politik di Amerika Serikat ini akan berdampak pada risiko melambatnya pertumbuhan ekonomi di banyak negara termasuk di China dan Uni Eropa dan kembali meningkatnya inflasi dunia.
“Di Amerika Serikat, proses penurunan inflasi akan berjalan lebih lambat sehingga penurunan suku bunga Fed Fund Rate Amerika Serukat diperkirakan akan lebih terbatas,” ujarnya.
Sementara itu, kebutuhan pembiayaan defisit fiskal yang lebih besar oleh pemerintahan Amerika Serikat, mendorong kembali meningkatnya yield US Treasury, baik tenor jangka pendek maupun jangka panjang.
“Perubahan politik di Amerika Serikat tersebut telah berdampak pada menguatnya mata uangnya dolar Amerika Serikat secara luas serta berbaliknya preferensi investor global dengan memindahkan alokasi portofolionya kembali ke Amerika Serikat,” ujarnya.
Akibatnya, tambah Perry, tekanan pelemahan nilai tukar berbagai mata uang dunia semakin tinggi dan terjadi aliran keluar portofolio asing termasuk dari negara emerging market.
“Penguatan respons kebijakan diperlukan untuk memperkuat ketahanan eksternal dari dampak negatif memburuknya rambatan global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara emerging market termasuk Indonesia,” kata Perry.