Masa-masa Terberat Dunia Perbankan

1
1003

Pada beberapa bulan ini, kata-kata “inflasi” mulai akrab di telinga masyarakat. Secara sederhana inflasi selalu dikaitkan dengan kenaikan harga dari barang-barang. Hal ini tentu tidaklah salah. Menurut laman Bank Indonesia inflasi adalah sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Apabila kenaikan barang dan jasa hanya meliputi 1-2 barang, maka itu belum dapat dikatakan inflasi. Namun apabila kenaikan barang dan jasa yang terjadi dalam skala yang massif dan bahkan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa lainnya, maka hal ini dapat disebut sebagai inflasi.

Obat mujarab yang umumnya dilakukan oleh Bank Sentral, yakni Bank Indonesia (BI) adalah dengan menaikkan suku bunga. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 19-20 Oktober 2022 lalu, BI memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,75%. Dengan kenaikan ini, maka dalam kurun waktu 3 (bulan) terakhir, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga sebesar 25 bps dan 50 bps pada bulan September 2022.

Keputusan BI untuk menaikkan suku bunga di atas merupakan langkah antisipasi dari Bank Indonesia untuk meredam kenaikan inflasi menjadi lebih tinggi lagi atau bahkan tidak terkendali. Namun dampak kenaikan suku bunga inilah yang patut masyarakat cermati dan waspadai.

Apabila BI menaikkan suku bunga, maka hal ini akan menyebabkan dunia perbankan di Tanah Air akan serempak menaikkan suku bunga juga. Perbankan akan menaikkan suku bunga simpanan dan kreditnya. Kenaikan bunga bank akan membuat masyarakat tertarik untuk menyimpan dananya ke bank. Di sisi lainnya, bank juga akan menaikkan suku bunga kreditnya. Kenaikan suku bunga kredit atau pembiayaan ini akan menyebabkan para peminjam (debitur) harus membayar angsuran atau cicilannya lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Baca Juga :   Komisi VI Setujui Pagu Indikatif Rp2,1 T dan Tambahan Anggaran Kemendag Rp459,6 M

Fungsi bank sebagai lembaga intermediary yaitu memberikan kredit atau pinjaman dari masyarakat yang surplus dana ke masyarakat yang membutuhkan dana akan menjadi menurun atau melambat. Penurunan penyaluran dana (kredit) disebabkan karena masyarakat akan berpikir lebih jauh untuk mengambil kredit atau pembiayaan yang berbunga tinggi,

Bagi perbankan, kenaikan suku bunga acuan BI ini menjadi dilema. Di tengah kenaikan harga barang dan jasa yang terjadi seperti saat ini, dengan asumsi penghasilan tidak mengalami perubahan, maka kenaikan suku bunga kredit atau pembiayaan akan terasa memberatkan calon debiturnya. Bisa dibayangkan jika malah terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pada debitur tersebut. Secara normatif, debitur akan lebih mengutamakan kebutuhan dasar hidupnya, terlebih dahulu dibandingkan keperluan lainnya. Apabila perbankan tidak menaikkan suku bunga kredit, maka potensi laba bank akan menurun karena pembayaran bunga simpanan yang sudah tinggi.

Adanya kenaikan harga barang dan jasa, menyebabkan pilihan debitur untuk membayar angsuran kredit tidak menjadi prioritas lagi, bahkan tidak tertutup kemungkinan merelakan aset yang menjadi jaminan untuk disita oleh pihak bank.

Baca Juga :   Optimalkan Penanganan Perbankan, OJK dan LPS Perkuat Sinergi

Jika ini (penyitaan) terjadi, maka bank memiliki kewajiban untuk menjual agunan tersebut dalam jangka waktu yang relatif tidak lama. Semakin lama agunan tersebut mengendap di bank alias belum terjual, maka hal ini menjadi beban bagi bank. Apalagi jika aset yang diagunkan tersebut sangatlah besar seperti rumah, apartemen, pabrik dan lain sebagainya. Menyita agunan seperti ini tidaklah mudah, dan jika pun berhasil disita, maka proses selanjutnya adalah menjualnya (lelang). Pada saat situasi dimana inflasi sedang tinggi, maka menawarkan agunan seperti properti untuk dibeli, sekalipun dengan harga yang sudah diberi diskon pun tidak menjamin cepat laku terjual. Apalagi jika ditambah kondisi ekonomi sedang mengalami resesi, maka kemungkinan untuk cepat laku terjual menjadi semakin teramat sulit.

Selain sulitnya menjual agunan yang disita, pukulan lainnya terhadap dunia perbankan adalah meningkatnya kredit bermasalah atau Non Performing Loans (NPL). Banyaknya debitur yang menunda atau bahkan tidak membayar cicilan kredit atau pinjamannya akan menyebabkan tingkat NPL bank meningkat. Kenaikan NPL ini akan menyebabkan bank harus menyisihkan cadangannya lebih besar lagi. Bank yang belum memiliki cadangan besar, maka pemenuhan kekurangan cadangan ini dengan cara mengambil dari komponen laba. Akibatnya laba bank menjadi turun. Laba yang sudah minim akibat penyaluran kredit semakin sulit atau bahkan menurun. Diperkirakan dalam 2 tahun mendatang, kecendrungan penyaluran kredit akan semakin menurun.

Baca Juga :   OJK: Total Outstanding Kredit yang Direstrukturisasi Rp 655,8 T

Hingga saat ini, laba perbankan di Indonesia masih didominasi oleh pendapatan dari bunga kredit. Tidak terbayangkan jika penyaluran kredit menurun, hampir dipastikan laba bank juga ikut menurun.

Dengan inflasi yang semakin meningkat dan ketidakpastian perekonomian dunia pada tahun 2023, ditambah dengan menurunnya pemberian kredit, anjloknya penjualan aset yang menjadi agunan kredit, beban bunga dana yang tinggi, kenaikan biaya hidup masyarakat, kecederungan peningkatan PHK, kenaikan NPL, berkurangnya cadangan, dan bahkan tidak menutup kemungkinan modal bank ikut tergerus. Semua penderitaan inilah yang akan dihadapi dunia perbankan Indonesia ke depannya. Perbankan Indonesia sebaiknya sudah memiliki strategi untuk dapat melewati tantangan berat ini, karena tidak menutup kemungkinan tantangan yang akan dihadapi nanti jauh lebih berat dibandingkan krisis pada tahun 1997-1999 lalu. Masa-masa berat dunia perbankan di Indonesia sudah mulai nampak. Sekarang tergantung kesiapan masing-masing Bank: sudah siap atau belum untuk menghadapinya.

 

 

Dr. Franky Ariyadi, SE, SH, MM

Penulis adalah praktisi perbankan.

Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi/tempat penulis bekerja.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

1 comment

Leave a reply

Iconomics