Mengukur Resesi Ekonomi 2023

0
1474

Apakah Anda mengamati dan mengalami bahwa dalam beberapa bulan terakhir ini: harga-harga kebutuhan hidup dan barang naik? Itulah ciri khas bahwa telah terjadi inflasi. Dalam beberapa kali kesempatan, Presiden Joko Widodo maupun Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah berkali-kali memperingatkan akan bahaya resesi ekonomi yang diperkirakan terjadi pada tahun 2023 mendatang.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resesi merupakan kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti). Sedangkan dalam situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan bahwa resesi adalah suatu kondisi dimana perekonomian suatu negara sedang memburuk yang terlihat dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang negatif, pengangguran meningkat, maupun pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan Produk Domestik Bruto (PDB) adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Secara sederhana, PDB merupakan total nilai produksi dan jasa yang dihasilkan semua orang atau perusahaan dalam satu negara, termasuk nilai tambah, dalam kurun waktu tertentu, biasanya satu tahun.

Ibarat orang yang sakit flu, maka gejala-gejala terkena flu seperti badan terasa pegal-pegal, demam, batuk, pilek dan lain sebagainya itu sudah mulai dirasakan oleh calon penderita flu. Demikian juga dengan kondisi suatu negara akan mengarah ke resesi ekonomi memiliki gejala juga.

Data dari Bank Indonesia (BI) diketahui bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II tahun 2022 tumbuh sebesar 5,44%. Angka ini naik sedikit dari triwulan I tahun 2022 sebesar 5,01%. Sekilas memang terlihat bahwa perekonomian Indonesia memang resillience terhadap pengaruh pelemahan ekonomi global dan risiko inflasi yang meningkat. Namun yang patut diwaspadai adalah perkembangan ekonomi global seperti pertumbuhan ekonomi berbagai negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Tiongkok dan India yang diperkirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya.

Contohnya proyeksi perekonomian Tiongkok yang diperkirakan hanya tumbuh 3,2% dari sebelumya 5,5%. Apabila mau dibandingkan, pergerakan ekonomi Indonesia nyaris menyerupai perekonomian Tiongkok. Menurunnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga akan mengurangi kemampuannya untuk menerima impor atau ekspor Indonesia ke Tiongkok. Dan ini menjadi “early warning” bagi Indonesia. Sejak tahun 2000, pergerakan perekonomian ke-2 negara memiliki kesamaan.

Data BPS menyebutkan pada Agustus 2022, nilai ekspor Indonesia menembus US$27,91 miliar atau setara Rp415,370 triliun. Namun data BPS per tanggal 17 Oktober 2022, disebutkan bahwa angka ekspor Indonesia pada September 2022 menurun menjadi US$24,80 miliar. Demikian juga dengan angka impor. Jika pada Agustus 2022, impor dari Indonesia sebesar US$22,150 miliar dollar, maka pada September 2022 menjadi US$19,81 miliar.

Penurunan ekspor dan impor pada September 2022 mengindikasikan bahwa negara-negara pengimpor dari Indonesia mulai mengurangi permintaan dari Indonesia. Demikian pula dengan Indonesia yang juga mulai mengurangi impor dari negara-negara lain. Pada akhirnya masing-masing negara mulai beralih ke produksi dalam negerinya masing-masing. Kondisi ini  mengakibatkan terjadinya penumpukan produk ekspor di masing-masing negara. Kondisi ini mengakibatkan perusahaan-perusahan pengekspor memikirkan produknya yang tidak dapat dijual, sehingga berpotensi mengalami kerugian. Dan jika kerugian ini tidak dapat dihindari, maka opsi pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan menjadi terbuka lebar, dan suka atau tidak suka, hal ini (PHK) sudah terjadi di berbagai perusahaan di Tanah Air.

Baca Juga :   Menko Airlangga Beberkan Strategi Pengendalian Inflasi Selama Ramadan dan Idulfitri 2023

Demikian pula halnya dengan perusahaan pengimpor. Karena di negara pengekspor terjadi penurunan atau karena adanya kebijakan pemerintah masing-masing untuk tidak melakukan impor, maka impor menjadi menurun. Hal ini mengakibatkan perusahaan pengimpor harus juga mengurangi pesanannya dan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan PHK juga.

Kondisi di atas akan berpengaruh pada tingkat produktivitas masyarakat yaitu menjadi menurun, PDB menjadi menurun, ekspansi dari negara-negara maju atau khususnya mitra dagang Indonesia menjadi rendah (menurun), dan kemungkinan tidak terjadinya perpindahan arus barang, modal dan manusia di banyak negara. Hal-hal inilah yang menyebabkan perekonomian menjadi menurun, dan tidak menutup kemungkinan Indonesia memasuki resesi. Dan pada saat ini (Oktober 2022), gejala Indonesia menuju ke resesi ekonomi mulai terlihat.

Inilah yang kemungkinan (dalam skala kecil) dimaksudkan pemerintah bahwa tahun 2023 adalah gelap karena kemungkinan terjadinya resesi ekonomi global sudah mulai menjadi kenyataan.

 

Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan naiknya harga barang dan jasa pada umumnya yang berlangsung secara terus menerus. Jika harga barang dan jasa di dalam negeri meningkat, maka inflasi mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa tersebut menyebabkan turunnya nilai uang. Dengan demikian, inflasi dapat juga diartikan sebagai penurunan nilai uang terhadap nilai barang dan jasa secara umum (Biro Pusat Statistik).

Data menyebutkan bahwa dalam kurun waktu Januari 2022–Juni 2022, tingkat inflasi di Amerika Serikat meningkat dengan tajam. Pada awal tahun 2022 sebesar 7,5% kemudian terus meningkat hingga mencapai 9,1% pada Juni 2022. Solusi untuk mengerem dan menurunkan laju inflasi adalah dengan cara menaikkan suku bunga. The Fed sebagai Bank Sentral AS akhirnya mulai menaikkan suku bunganya secara bertahap.

Akibat dari kenaikan suku bunga ini adalah gonjang-ganjing di negara-negara yang mempergunakan transaksi pembayarannya dengan mata uang dollar AS. Indonesia termasuk salah satu negara yang masih terikat dan bergantung kepada dollar dalam melakukan transaksi keuangannya.

Kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh The Fed menyebabkan aliran perpindahan dollar dari Indonesia (dan tentunya negara-negara lainnya) kembali ke Amerika Serikat. Para investor cenderung akan memindahkan asetnya (dollar) ke Amerika Serikat yang menawarkan suku bunga yang lebih menarik dibandingkan apabila mereka tetap berinvestasi di luar Amerika Serikat.

Arus perpindahan dollar ini menyebabkan nilai mata uang di negara-negara yang memakai dollar sebagai salah satu alat pembayaran menjadi meningkat (naik). Sebagai salah satu negara pemakai mata uang dollar dalam bertransaksi keuangan, Indonesia juga mengalami hal yang sama. Kita bisa lihat dan saksikan dimana saat ini (Oktober 2022), nilai mata uang dollar terhadap rupiah sudah menembus Rp15.450 dan bahkan diprediksi bisa naik lebih tinggi lagi. Sebagai perbandingan, pada awal tahun 2022, kurs tengah dollar masih di angka Rp14.080, namun di bulan Oktober 2022 angka tersebut sudah ada di angka Rp15.390. Jika tidak terkendali, tidak kemungkinan krisis ekonomi tahun 1997 akan terulang dan bahkan lebih buruk lagi.

Baca Juga :   Bank Dunia: Indonesia Harus Pastikan Paket Stimulus Fiskal Efektif

Tentunya kita juga mulai merasakan bahwa harga-harga mulai naik. Kenaikan harga-harga, baik makanan atau pun non-makanan merupakan konsekuensi dari adanya inflasi di negeri ini.

Indikator lainnya adalah pergerakan indeks harga saham. Saham memang bisa menjadi indikator perekonomian suatu negara. Para investor biasanya selalu mengantisipasi semua kemungkinan, dimana ada mereka akan forward looking atas investasinya. Jika mereka merasa investasinya (dengan memegang saham) tidak menguntungkan, mereka langsung melakukan aksi dengan melepas saham yang mereka pegang. Akibatnya indeks saham akan menurun.

Demikian pula dunia perbankan di Tanah Air akan semakin merana. Kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan akan membuat perbankan meningkatkan suku bunganya. Akibatnya bank harus membayar bunga lebih ke masyarakat penyimpan (nasabah dana). Namun di sisi lainnya, bank juga harus menaikkan suku bunga pinjamannya ke masyarakat yang menerima pinjaman dalam bentuk kredit (nasabah kredit).

Kenaikan suku bunga pinjaman akan menyebabkan kenaikan kredit bermasalah (Non Performing Loans/NPL), dan ini jelas akan membuat nasabah kesulitan untuk membayar angsuran atau cicilan pinjamannya, karena biaya hidup juga ikut meningkat.

           

Dampak

Dampak dari adanya resesi ekonomi antara lain:

  1. Penutupan perusahaan

Di atas sudah dijelaskan bahwa ekspor Indonesia pada Agustus 2022 sebesar US$27,91 miliar atau setara Rp415,370 triliun. Data dari BPS menyebutkan bahwa provinsi Jawa Barat memegang kontribusi sebagai provinsi dengan ekspor terbesar dibandingkan dengan provinsi lain. Dengan demikian, apabila terjadi penurunan ekspor, maka potensi terjadinya gonjang-ganjing perusahaan seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) kemungkinan terjadi lebih cepat dan banyak terjadi Jawa Barat dibandingkan provinsi lainnya.  Berita Utama Koran Tempo pada tanggal 19 Oktober 2022 seolah membenarkan analisa ini. Pemerintah tidak bisa menutup mata akan hal ini, karena akan membesar dan bisa menyebabkan gelombang tsunami PHK besar-besaran.

  1. Bisnis Online

Perusahaan yang menjalankan bisnisnya seperti startup atau bisnis online lainnya diperkirakan juga banyak mengalami kemunduran, bahkan bangkrut (kolaps).

  1. Kenaikan harga barang

Kenaikan harga barang yang saat ini sudah terjadi akan mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Kemungkinan yang terjadi adalah masyarakat akan cenderung membeli barang atau makanan yang merupakan kebutuhan utama (primer), dan bukan sekunder.

  1. Properti

Selama resesi ekonomi, lupakan properti. Sejak awal tahun 2022, kita sudah sering melihat adanya spanduk, atau pengumuman “DIJUAL”, “DISEWA”, “DIKONTRAKKAN” pada rumah maupun apartemen. Namun semakin mendekati akhir tahun 2022, semakin banyak rumah, rumah toko (ruko) dan apartemen yang ditawarkan untuk dijual, disewa dan/atau dikontrakkan. Bahkan beberapa rumah di kawasan elite di Jakarta dijual dengan harga miring alias lebih rendah dari harga normal.

Baca Juga :   BPS: Inflasi April 2020 Sebesar 0,08% adalah Pola Tidak Normal

Belum lama ini, di media sosial disebutkan bahwa gejala penjualan rumah dan apartemen tidak hanya terjadi di kota Jakarta, melainkan sudah menjalar ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya. Sektor properti akan turun tajam. Secara rasional, orang akan cenderung memilih untuk membeli rumah second dibandingkan membeli rumah baru. Namun pertanyaannya adalah apakah orang masih mau membeli rumah, atau barang-barang kebutuhan sekunder, jika untuk membeli kebutuhan sehari-harinya (primer) saja sudah sulit?

  1. Kurs mata uang asing

Mata uang asing yang dimaksud adalah dollar AS. Selama kebijakan pengendalian inflasi di Amerika Serikat, dimana The Fed akan tetap menaikkan suku bunga acuannya, maka kemungkinan dollar semakin perkasa dibandingkan rupiah semakin terbuka lebar. Hal ini jelas membuat posisi ekonomi Indonesia menjadi semakin tidak baik-baik saja. Menjelang akhir tahun 2022, kemungkinan dollar bertambah kuat (strong).

 

What’s Next?

Pertanyaan yang timbul adalah apa selanjutnya? Apa yang harus kita persiapkan untuk menghadapi resesi ekonomi? Berikut ini beberapa langkah yang dapat dilakukan:

  1. Menyisihkan sebagian dari simpanan yang dimiliki dalam bentuk tunai (cash). Sebagian lainnya tetap dibiarkan disimpan di bank. Hal ini untuk mengantisipasi resesi berlangsung cukup lama, sehingga diperlukan uang tunai sebagai tindakan berjaga-jaga dalam bertransaksi;
  2. Memindahkan portofolio aset yang dimiliki dari posisi tidak likuid menjadi likuid;
  3. Memfokuskan pembelian pada hal-hal yang sifatnya penting (urgent) dan memang dibutuhkan (needs);
  4. Jika dimungkinkan, berusaha memenuhi kebutuhan dasar seperti menanam tanaman yang bisa dikonsumsi;
  5. Apabila memungkinkan, memutar (menempatkan) aset di tempat yang benar-benar aman.

Tahun 2023 sebentar lagi, namun demikian gejala-gejalanya sudah kita alami dalam beberapa bulan. Kita tidak boleh berbangga berlebihan atas pencapaian pertumbuhan ekonomi di triwulan II tahun 2022 sebesar 5,44% (y-on-y), dan triwulan III tahun 2022 juga naik 5,72% (y-on-y). Namun kemungkinan pencapaian di triwulan IV tidak sebaik triwulan sebelumnya, walaupun kemungkinan masih di atas 5%. Selanjutnya Indonesia akan diuji dalam resesi 2023 dan seterusnya. Kemungkinan Indonesia masuk antrian pasien IMF sebagai negara yang membutuhkan pertolongan akan terjawab dalam 2 tahun mendatang. Semoga Indonesia tetap bisa terhindar dari badai resesi.

 

Dr. Franky Ariyadi, SE, SH, MM

Penulis adalah praktisi perbankan.

Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi/tempat penulis bekerja.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics