Apa Kabar Kasus Dugaan Korupsi Tata Kelola Sawit? Pengamat: Kejagung Harus Segera Tetapkan Tersangka

Kantor Kejaksaan Agung/Ist
Penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta segera menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penguasaan dan pengelolaan perkebunan sawit di kawasan hutan periode 2005 hingga 2024. Apalagi, kasus tersebut dinilai tidak mengalami kemajuan sejak penyidik menggeledah kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada awal Oktober lalu.
Pengamat hukum dari Universitas Bung Karno Cecep Handoko mengatakan, karena Kejagung sudah menggeledah kantor KLHK, maka langkah selanjutnya, penyidik harusnya menetapkan tersangka dalam kasus itu. “Harusnya sudah ada tersangka setelah penggeledahan tersebut,” kata Ceko – panggilan akrabnya ketika dihubungi beberapa waktu lalu.
Menurut Ceko, penyidik pun seharusnya mulai memanggil saksi-saksi yang mengetahui duduk perkara dugaan korupsi penguasaan dan pengelolaan perkebunan sawit periode 2005 hingga 2024 itu. Pemanggilan saksi-saksi tersebut termasuk dari pihak KLHK dan swasta yang diduga terlibat dalam kongkalikong penguasaan lahan negara dan pengelolaan perkebunan sawit periode 2005-2024.
Langkah penyidik menuntaskan kasus dugaan korupsi penguasaan lahan negara dan pengelolaan perkebunan sawit periode 2005-2024 itu, kata Ceko, menjadi penting karena Presiden Prabowo Subianto dalam berbagai pidatonya dinilai berkomitmen tinggi untuk memberantas korupsi. Itu sebabnya, percepatan langkah penyidik untuk menuntaskan kasus itu penting sebagai wujud dari komtimen pemerintah dalam hal pemberantasan korupsi.
“Ini komitmen terhadap pemberantasan korupsi Pak Prabowo. Apalagi, ini infonya kerugian negaranya tidak main-main,” tandas Ceko.
Dalam keterangannya pada Oktober 2024, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, pihaknya menduga telah terjadi penguasaan dan pengelolaan perkebunan sawit dalam kawasan hutan secara melawan hukum dari 2005 hingga 2024. Tindakan tersebut pun dinilai merugikan keuangan atau perekonomian negara sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Apakah kasus ini melibatkan perusahaan sawit swasta seperti Best Group yang memiliki konsesi di Kalimantan Tengah? “Nanti kita lihat ya, penyidik baru mau memanggil dan memeriksa saksi-saksi. Apakah nantinya ada perusahaan swasta seperti (Best Group) yang disampaikan itu, kita lihat perkembangannya,” tutur Harli saat dihubungi lewat aplikasi perpesanan Whatsapp pada 8 Oktober 2024.
Soal kasus ini, Jampidsus Febrie Adriansyah mengatakan, penanganan dugaan korupsi penguasaan dan pengelolaan perkebunan sawit dalam kawasan hutan secara melawan hukum dari 2005 hingga 2024 mirip dengan kasus Duta Palma Group. Di kasus ini, pemiliknya Surya Darmadi divonis 16 tahun penjara dan wajib membayar uang pengganti sekitar Rp 2,2 triliun lebih. Sedangkan Raja Thamsir Rachman yang menjabat Bupati Indragiri Hulu ketika itu divonis 9 tahun penjara.
Konstruksi kasus penguasaan dan pengelolaan perkebunan sawit ini, kata Febrie, terkait penyalahgunaan izin kawasan hutan yang tidak seharusnya. Temuan wartawan theiconomics.com ada perusahaan sawit di bawah kendali Best Group milik Winarto dan Winarno Tjajadi alias Tjajadi bersaudara modusnya sama dengan Duta Palma Group.
Sebagai crazy rich Surabaya, Tjajadi bersaudara ini sempat membetot perhatian publik karena salah satu anaknya menggelar pernikahan dengan anggaran kabarnya mencapai Rp 1 triliun. Akan tetapi, bukan itu masalahnya. Persoalannya perusahaan Tjajadi bersaudara ini dinilai memperluas lahan perkebunan sawitnya dengan menggarap lahan negara tanpa izin terutama di Kalimantan Tengah.
Best Group
Analisis Greenpeace menyebut Best Group memiliki 9 perusahaan perkebunan dengan total 127.220 hektare berada dalam kawasan hutan. Lahan tersebut termasuk 6.210 hektare di dalam hutan lindung dan 539 hektare di dalam kawasan konservasi. Sementara catatan Save Our Borneo ada 11 perusahaan di bawah grup Best Agro yang beroperasi di Kalimantan Tengah seluas sekitar 192.850,16 hektare. Adapun 11 perusahaan itu adalah PT Bahaur Era Sawit Tama; PT Berkah Alam Fajar Mas; PT Karya Luhur Sejati; PT Surya Cipta Perkasa; PT Hamparan Sawit Bangun Persada; PT Tunas Agro Subur Kencana; PT Bangun Jaya Alam Permai; PT Hamparan Sawit Bangun Persada; PT Wana Sawit Subur Lestari; PT Bangun Jaya Alam Permai; PT Wana Sawit Subur Lestari.
Temuan Tempo menyebutkan PT Suryamas Cipta Perkasa (SCP) merupakan salah satu perusahaan yang mengajukan pemutihan lahan sawit mereka seluas 19.189 hektare ke KLHK. Di Seruyan, Kalimantan Tengah, Best Group menjadi salah satu perusahaan yang mendapatkan konsesi dari bupatinya ketika itu yakni Darwan Ali pada periode 2004-an. Konsesi tersebut tetap diberikan meski izin perkebunan kepada Best Group diduga telah memotong kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, yang sebelumnya dilindungi dari penebangan liar.
Bahkan ketika KLHK mendesak agar izin perkebunan Best Group tersebut dicabut, Darwan Ali bergeming. Pernyataan yang sama juga dilontarkan anggota Komisi IV DPR Daniel Johan pada medio 2016. Seperti yang diberitakan borneonews.com, Komisi IV DPR dipimpin Daniel Johan pernah melabrak perusahaan tersebut.
Ketika itu, Daniel mengkritik anak usaha Best Agro yang merupakan bagian dari Best Group karena masuk Taman Nasional Sabangau (TNS), kawasan yang dilindungi. Daniel mengaku heran perusahaan tersebut tidak punya HGU dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) bisa bangun pabrik serta menabrak kawasan hingga total 80 ribu hektare. Begitupun hal-hal yang lain, sambung Daniel, perusahaan tersebut tidak bayar kewajiban pajak hanya karena tidak clear luasan izinnya, sehingga negara diperkirakan mengalami kerugian perekonomian.
Keberadaan Best Group ini, lembaga masyarakat sipil Save Our Borneo bersama koalisi mengaku pernah melaporkannya ke KLHK. Save Our Borneo berjanji akan mencari lagi data terkait laporan Best Group itu ke KLHK. “Seingat saya (lapor) hanya ke KLHK. Waktu itu suratnya lewat Walhi, Mas. Karena sekretariat koalisi saat itu kantor Walhi Kalteng,” kata admin Save Our Borneo lewat aplikasi perpesanan Whatsapp beberapa waktu lalu.
Sedangkan, berdasarkan penelusuran wartawan theiconomics, Best Group disebut pernah dilaporkan ke Jampidsus Kejagung pada periode 2020-an. Akan tetapi, belum diketahui perkembangan laporan tersebut.
Sedangkan, data Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adanya kebocoran uang negara Rp 300 triliun dari hasil tata kelola sawit. Angka itu merupakan hasil akumulatif hitungan denda perusahaan sawit yang beroperasi di kawasan hutan dan adanya selisih pembayaran denda. Kebocoran itu kebanyakan pada Pasal 110B Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti UU No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Pada pasal itu intinya memberi kesempatan bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan untuk mengurus perizinan paling lambat 3 tahun sejak UU 6/2023 berlaku. Sanksi yang melanggar ketentuan tersebut berupa hukuman administratif. Selain melanggar Pasal 110B, juga diduga melanggar Pasal 110A UU Ciptaker yang mengatur perusahaan yang memiliki izin usaha sebelum UU Cipta Kerja disahkan diberi keringanan untuk diputihkan atau dilegalkan asalkan menyelesaikan persayaratan sebelum November 2023. Bila tidak memenuhinya sampai batas waktu yang ditentukan, maka mereka akan dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif itu berupa pencabutan izin atau denda.
Leave a reply
