Aturan Diskon di E-Commerce Jangan Lemahkan Semangat Belanja Konsumen
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai pemberian diskon terhadap suatu barang baik di pasar modern seperti mal atau e-commerce tidak bisa disebut sebagai predatory pricing. Promosi atau diskon semata-mata dimaksudkan untuk menarik minat beli masyarakat.
“Bukan di e-commerce-nya yang kemudian dikenakan peraturan, pintu impornya harus diyakinkan tidak ada praktik dumping, sehingga kalau semuanya benar tidak ada yang disalahkan,” kata Piter saat dihubungi di Jakarta.
Menurut Piter, kendati bersifat sementara, promo atau diskon dapat memacu konsumsi. Meski tidak besar, tetapi pemerintah dinilai tidak bisa melarang sebuah perusahaan memberikan diskon dan memang kebijakan diskon tidak akan bersifat terus menerus.
Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebut sejak pandemi berlangsung, penjualan UMKM di e-commerce naik hingga 26% dan mencapai 3,1 juta transaksi per hari. Meski demikian, baru 13% dari 64,2 juta unit UMKM yang memanfaatkan teknologi digital dalam mengelola usahanya.
Data dari Bank DBS Indonesia juga menunjukkan bahwa pembelian melalui e-commerce naik hingga 66% di masa pandemi. Survei yang dilakukan pada Kuartal II/2020 tersebut melibatkan 545 responden di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Di dalam buku Statistik E-Commerce 2020 Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, usaha e-commerce lebih banyak menjual ke konsumen akhir. Sebanyak 68,95% usaha hanya menjual produk ke konsumen akhir.
Lalu, 29,96% usaha melakukan penjualan baik ke konsumen akhir maupun ke agen. Dan yang paling sedikit adalah usaha e-commerce yang melakukan penjualan online ke agen/usaha lain, yaitu sebesar 1,09%.
Karena itu, kata Piter, pemerintah perlu berhati-hati dalam hal ini terutama dalam merespons diskon harga di e-commerce. Pemerintah perlu memikirkan langkah yang tepat untuk memberikan solusi jika produk e-commerce dilarang memberi diskon.
Piter memahami maksud pemerintah membuat aturan predatory pricing itu untuk melindungi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Indonesia. Akan tetapi, yang perlu dilakukan pemerintah justru mengevaluasi kebijakan importasinya.
“Karena itu, memberikan diskon tidak bisa disebut sebagai predatory pricing,” kata Piter menambahkan.
Sementara itu, Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengingatkan pemerintah jangan karena aturan tersebut justru membebani masyarakat yang juga konsumen sehingga menurunkan minat untuk berbelanja di e-commerce. Apalagi pemerintah sebenarnya fokus menumbuhkan industri ini dan memberi efek positif di banyak sektor.
“Yang logis jangan sampai justru membebani konsumen itu sendiri,” kata Tulus.
Sebelumnya, pemerintah lewat Kementerian Perdagangan akan memastikan menciptakan perdagangan yang adil dengan melaksanakan tertib niaga yang baik. Salah satu yang akan diselesaikan Kementerian Perdagangan terkait dengan predatory price di e-commerce.
Menurut Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, predatory pricing merupakan sebuah cara atau harga yang suda disiapkan untuk menghancurkan kompetisi. Tindakan demikian disebut sebagai sebuah langkah yang dilarang dalam asas-asas perdagangan lantaran tidak memberikan manfaat dan tidak memberikan kesetaraan.