Gubernur Bank Indonesia: Ketidakseimbangan Pemulihan Ekonomi Global Masih Berlanjut
Menurut Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global yang terjadi pada tahun 2021 lalu masih berlanjut pada tahun 2022 ini. Ketidakseimbangan terjadi karena kemampuan untuk pulih dari pandemi serta dukungan kebijakan fiskal dan moneter yang berbeda antar-negara terutama antara negara berkembang dan negara maju.
Perry mengatakan pertumbuhan ekonomi global yang mencapai 5,7% pada tahun 2021 tidak seimbang karena hanya ditopang oleh pertumbuhan dua negara besar yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok.
“Ketidakseimbangan ekonomi global ini berlanjut di tahun 2022 ini. Diperkirakan tahun 2022 ini pertumbuhan ekonomi dunia bisa tumbuh 4,4%. Tetapi ketidakseimbangan masih berlanjut,” ujar Perry dalam kuliah umum ‘Mendorong Akselerasi Pemulihan Ekonomi dan Menjaga Stabilitas’, Senin (21/3).
Menurut Perry ketidakseimbangan pemulihan ekonomi global terjadi karena kemampuan untuk pulih dari pandemi Covid-19 memang berbeda-beda antar-negara. Negara-negara maju melakukan vaksinasi secara cepat. Negara-negara maju juga melakukan stimulus secara besar-besaran baik fiskal maupun moneter. Sebaliknya, kemampuan vaksinasi dan stimulus fiskal dan moneter di negara berkembang terbatas. Belum lagi banyak negara berkembang terutama di Afrika terbebani utang.
Karena itulah, tambah Perry, dalam presidensi G20 Indonesia, tema yang diangkat adalah Recover Together, Recover Stronger.
Di tengah pemulihan yang tidak merata tersebut, Perry menyampaikan ada tiga tantangan ekonomi global pada tahun ini. Pertama, normalisasi kebijakan negara-negara maju yang lebih cepat.
“Kita sudah melihat bahwa bank sentral Amerika Serikat sudah menaikan suku bunga kebijakannya Fed Fund Rate. Semula kami perkirakan lima kali tahun ini. Tetapi inflasi yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat di Amerika, kemungkinan akan mendorong bank sentral Amerika menaikan suku bunga Fed Fund Rate tujuh kali termasuk yang sekali Maret ini,”ujar Perry.
Kenaikan suku bunga kebijakan oleh bank sentral Amerika Serikat ini, menurut Perry, berdampak pada kenaikan suku bunga global dan persepsi risiko global. Hal ini juga akan mempersulit negara-negara berkembang untuk bisa pulih karena harus mengatasi dampak rambatan dari kenaikan suku bunga tersebut, seperti terjadinya capital outflow. Kenaikan suku bunga global ini membatasi kemampuan negara-negara berkembang dalam merumuskan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di dalam negerinya.
“Oleh karena itu normalisasi kebijakan ini menjadi isu yang kita angkat [di G20] dan kita sampaikan bagaimana normalisasi kebijakan di negara maju perlu dikalibrasi secra baik, perlu direncanakan secara baik, perlu dikomunikasikan secara baik agar dampak terhadap global dan negara berkembang itu lebih bisa dimitigasi secara baik,” ujarnya.