MK Hapus Ambang Batas Presiden, Setiap Parpol Peserta Pemilu Berhak Ajukan Capres

0
15
Reporter: Wisnu Yusep

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal pencalonan presiden yang tertuang pada Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK menilai ambang batas presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam amar putusannya, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, pasal yang dihapus itu berisi tentang syarat pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang harus didukung partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu anggota legislatif (pileg) sebelumnya.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Suhartoyo di gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1).

Pemohon uji materiil UU tentang Pemilu itu terdiri atas 4 orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga. Keempat orang itu adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Sementara itu, Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam pertimbangan putusannya menuturkan, merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

Baca Juga :   Gapki Usulkan agar Presiden Prabowo Bentuk Badan Sawit Nasional

Dalam konteks tersebut, kata Saldi, MK menilai gagasan penyederhanaan partai politik dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan bentuk ketidakadilan.

“Selain itu, dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya, disadari atau tidak, partai politik baru yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu serta-merta kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi.

Dalam batas penalaran yang wajar, kata Saldi, MK memandang ambang batas presiden yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, kata Saldi, terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

Baca Juga :   Punya Kedekatan Historis, PDI Perjuangan Berpeluang Kerja Sama dengan PKB

“Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan,” ujar Saldi.

Menurut Saldi, MK mempelajari arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti 2 pasangan calon. Kondisi tersebut dinilai menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

Sekalipun pemilu presiden dilaksanakan serentak dengan pemilu anggota legislatif, kata Saldi, sejatinya mandat rakyat atau pemilih diberikan secara terpisah. Menurut Mahkamah, menggunakan ambang batas presiden berdasarkan perolehan suara atau kursi DPR, memaksakan logika sistem parlementer dalam praktik sistem presidensial Indonesia.

Karena itu, kata Saldi, MK menyatakan ambang batas presiden yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

“Dengan demikian, terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya. Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenva adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” tandas Saldi.

Baca Juga :   PAN dan Gerindra Siap Jalin Kerja Sama untuk Bangsa Serta Negara

Atas pertimbangan tersebut, kata Saldi, MK menyimpulkan pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Namun, terdapat 2 hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics