‘Perlu Ada Komitmen Politik, Dukungan PLN, dan Langkah Luar Biasa’; Respons IESR atas Masih Rendahnya Penggunaan EBT di Indonesia
Porsi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dalam bauaran energi (energy mix) nasional baru mencapai 13,1 persen pada akhir tahun 2023, masih jauh dari target 23 persen pada tahun 2025. Indonesia masih mengandalkan hampir 87% sumber energinya dari energi fosil yaitu minyak bumi, batu bara dan gas bumi.
Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR) – lembaga think tank sektor energi – masih rendahnya pencapaian porsi EBT ini disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya keterlambatan lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN sejak 2019, kendala eksekusi proyek-proyek yang sudah kontrak karena bankability, kenaikan tingkat suku bunga keuangan dalam dua tahun terakhir, serta pandemi Covid-19.
Sejumlah proyek energi terbarukan, terutama PLTA dan PLTP yang menjadi andalan pemerintah seperti PLTA Batang Toru, PLTP Baturaden dan PLTP Rajabasa yang mundur waktu penyelesaiannya ditengarai berkontribusi pada rendahnya capaian bauran energi terbarukan di 2023. Demikian juga proses revisi Permen ESDM No. 26/2021 yang berlarut-larut menghambat implementasi PLTS atap, sehingga PSN PLTS atap 3,6 GW tidak berjalan.
Pemerintah berencana untuk mengejar pembangunan pembangkit energi baru terbarukan skala besar, di antaranya PLTS terapung dan PLTB. Peta jalan PLTS atap pun telah disiapkan dengan target 2023 sebesar 900 MW, dan 2024 sebesar 1800 MW.
Hanya saja, menurut IESR, regulasi PLTS atap yang tak kunjung selesai membuat adopsi PLTS atap turun di sektor residensial dan bisnis, masing-masing sebesar 20% dan 6%. Akibatnya, berdasarkan analisis IESR, pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW, jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada tahun 2023.
“Pemerintah masih punya waktu 2 tahun untuk mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan, tapi perlu ada komitmen politik, dukungan PLN, dan langkah-langkah extraordinary,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Menurut Fabby, ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk mendongkrak penggunaan EBT ini, sehingga bisa mencapai target, antara lain: mempercepat eksekusi-eksekusi proyek yang sudah kontrak, khususnya dari Independent Power Producer (IPP).
Selain itu, pemerintah harus mendesak PLN melakukan lelang pembangkit skala besar secara reguler selama tahun ini, penyederhanaan negosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement, PPA) sehingga proyek-proyek tersebut bisa dieksekusi tahun ini.
Menteri dalam “Konferensi Pers Capaian Sektor ESDM Tahun 2023 dan Program Kerja Tahun 2024” di Kantor Kementerian ESDM, Senin, 15 Januari, mengatakan pemerintah akan mengupayakan agar target 23% EBT dalam bauran energi nasional bisa tercapai pada tahun depan. Arifin mengatakan tahun depan “harus terpasang 10,6 Gigawatt [EBT] lagi” EBT.
Menurut Fabby, untuk mengejar target 10,6 GW dalam dua tahun, pemerintah harus mengandalkan PLTS terapung, ground mounted dan ditambah dengan 3,6 GW target kapasitas terpasang PLTS atap.
“Oleh karena itu, implementasi revisi Permen No. 26/2021 tidak boleh lagi tertunda,” jelas Fabby.
Investasi yang juga Rendah
Masih rendahnya porsi EBT dalam bauran energi nasional juga tercermin dari rendahnya realisasi investasi sektor ini. Tahun lalu, investasi sektor EBT mencapai US$1,5 miliar, dari target US$1,8 miliar. Sementara pada 2024, pemerintah menargetkan US$ 2,6 miliar.
Jumlah investasi ini, menurut Fabby, masih jauh dari kebutuhan pendanaan energi terbarukan sebesar US$ 25 miliar per tahun hingga 2030 untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Karena itu, menurutnya, untuk mengakselerasi pertumbuhan investasi energi terbarukan pemerintah perlu membantu mempersiapkan proyek energi terbarukan yang dapat diimplementasikan dan layak untuk dibiayai.
Fabby menduga ada permasalahan struktural yang menyebabkan target investasi energi terbarukan tidak pernah tercapai selama era pemerintahan Presiden Jokowi, sementara di dunia, investasi energi terbarukan terus meningkat bahkan melampaui investasi energi fosil dalam lima tahun terakhir.
Untuk itu, Fabby mengusulkan adanya evaluasi serius terhadap persoalan ini sehingga pemerintah bisa dengan cepat memperbaiki lingkungan yang memungkinkan (enabling environment) perbaikan iklim investasi energi terbarukan, salah satunya tinjauan ulang atas subsidi batubara lewat skema DMO dan domestic coal pricing obligation untuk PLTU PLN.