US Steel, Trump, dan Golden Share: Baja dalam Babak Baru Kapitalisme AS

Oleh : Widodo Setiadharmaji. Penulis adalah Pemerhati Industri Baja dan Pertambangan.
0
86

Pada 12 Juni 2025, Donald Trump mengejutkan publik Amerika dan dunia dengan pernyataannya bahwa pemerintah Amerika Serikat (AS) akan memiliki golden share dalam US Steel. Langkah ini diumumkan menyusul peninjauan ulang terhadap rencana akuisisi perusahaan baja legendaris tersebut oleh Nippon Steel asal Jepang senilai US$14,9 miliar. Trump, yang semula menentang keras akuisisi itu, kini mengambil posisi baru yakni tidak lagi menolak, tetapi menyetujui transaksi tersebut dengan persyaratan bahwa negara akan memegang golden share sebagaimana tercantum dalam National Security Agreement (NSA), sebuah perjanjian yang mengikat secara hukum dan menjadi syarat utama kelangsungan transaksi. “The United States will always have the golden share in this historic company. We will protect jobs, protect American steel, and make sure decisions are made in the interest of our country,” ujar Trump.

Hal yang semula hanya dianggap pernyataan politik menjelma menjadi penanda pergeseran peran negara dalam transaksi bisnis. Negara yang selama ini dikenal menjunjung tinggi prinsip pasar bebas yang minim intervensi pemerintah, kini menegaskan bahwa dalam sektor-sektor tertentu, kepentingan nasional tetap menjadi panglima. Golden share yang disebut secara eksplisit dalam National Security Agreement bukan sekadar simbol, tetapi bagian dari perjanjian bisnis yang mengatur keterlibatan negara.

Dengan kebijakan ini, AS tampaknya tengah menggambar ulang wajah kapitalisme yang selama ini mereka anut. Jika sebelumnya ekonomi Amerika dikenal karena penolakannya terhadap intervensi negara dalam urusan bisnis, dengan prinsip bahwa pasar tahu segalanya, maka kehadiran negara melalui golden share mencerminkan pergeseran menuju kapitalisme baru: negara hadir untuk memastikan kepentingan nasional tetap terjaga, meski kepemilikan tetap swasta.

 

Arah Baru Kebijakan Industri Baja AS

US Steel bukanlah entitas bisnis biasa. Didirikan pada tahun 1901, perusahaan ini merupakan simbol kejayaan industrialisasi Amerika. Ia adalah perusahaan pertama di dunia yang mencapai kapitalisasi pasar sebesar US$1 miliar, dan selama lebih dari satu abad memainkan peran penting dalam pembangunan infrastruktur, pertumbuhan industri manufaktur, serta kemajuan industri militer AS.

Meski kini posisinya telah digeser oleh produsen baja yang lebih besar dan efisien, nilai historis serta keterkaitannya dengan sektor-sektor strategis menjadikan US Steel tetap dipandang sebagai aset nasional. Di tengah persaingan global dan kebutuhan untuk memperkuat rantai pasok domestik, kekhawatiran muncul ketika kendali atas US Steel berpotensi berpindah ke tangan asing. Presiden Joe Biden menyatakan bahwa industri baja harus dimiliki dan dioperasikan oleh Amerika karena merupakan bagian penting dari keamanan nasional. Bahkan Donald Trump, dalam kampanyenya, menegaskan bahwa jika terpilih kembali, ia akan memblokir akuisisi tersebut.

Baca Juga :   Kita Tunggu Bank Digital Besutan Bank Mandiri

Pernyataan dua tokoh dari partai yang berbeda tersebut menunjukkan adanya konsensus bipartisan yang langka dalam politik Amerika: bahwa industri baja tidak lagi dapat diperlakukan semata sebagai urusan bisnis. Kekhawatiran terhadap pengambilalihan US Steel oleh perusahaan asing muncul bukan karena semangat proteksionisme belaka, tetapi karena posisi strategis sektor ini dalam sistem pertahanan, infrastruktur nasional, dan fondasi kemandirian industri AS. Dalam konteks ini, keterlibatan negara dipandang sah sebagai bentuk perlindungan terhadap kedaulatan ekonomi.

Sikap AS yang kini sejalan dengan negara-negara lain dalam melindungi industri baja, sesungguhnya mencerminkan titik balik dari doktrin ekonomi yang selama ini mereka anut sendiri. Sebagai kampiun pasar bebas, AS selama puluhan tahun menolak bentuk-bentuk intervensi langsung negara terhadap keputusan korporasi, apalagi dalam transaksi antar perusahaan swasta. Namun dalam kasus US Steel, prinsip itu ditanggalkan demi satu hal, yakni menjaga agar kendali atas industri strategis nasional tidak berpindah ke tangan asing tanpa batas negara. Artinya, AS kini tidak lagi cukup puas menjadi wasit pasar, melainkan merasa perlu menjadi pemain aktif di dalamnya.

Perubahan ini bukan sekadar teknis administratif, melainkan bersifat paradigmatik. Ini menandai dimulainya era baru, di mana negara, bahkan yang paling liberal sekalipun, mulai menegosiasikan ulang batas-batas keterlibatannya dalam urusan korporasi swasta, terutama jika menyangkut sektor-sektor vital. Di titik inilah kebijakan industri baja AS mengambil arah baru, meninggalkan asumsi bahwa pasar selalu tahu yang terbaik, dan mulai menerima bahwa negara harus hadir ketika kepentingan nasional dipertaruhkan.

 

Golden Share sebagai Wujud Transformasi Kapitalisme AS

Pergeseran pandangan tersebut mencapai bentuk paling nyata ketika pemerintah AS menetapkan penerbitan golden share sebagai prasyarat mutlak dalam akuisisi US Steel oleh Nippon Steel. Berdasarkan dokumen resmi yang diumumkan bersama oleh kedua perusahaan pada 18 Juni 2025, NSA tidak hanya mencantumkan penerbitan golden share kepada pemerintah AS, tetapi juga memuat serangkaian komitmen strategis dari Nippon Steel. US Steel akan tetap berbadan hukum AS dan berkantor pusat di Pittsburgh, dengan CEO dan mayoritas direksi berkewarganegaraan Amerika. Nippon Steel diwajibkan menginvestasikan US$11 miliar hingga tahun 2028, termasuk proyek greenfield pasca-2028.

Baca Juga :   Pertamina Bina Medika IHC Pamerkan Pertumbuhan Kinerja Keuangan Selama 5 Tahun Terakhir

Sebagai bagian dari hak yang melekat pada golden share, Presiden AS atau pihak yang ditunjuk (designee) memiliki kekuasaan substantif untuk memveto berbagai keputusan strategis perusahaan. Hak veto ini mencakup keputusan yang dapat mengubah atau mengurangi komitmen investasi sebagaimana tercantum dalam NSA, pengubahan nama perusahaan, pemindahan kantor pusat, redomisili ke luar negeri, relokasi produksi atau pekerjaan dari AS, akuisisi terhadap pesaing domestik berskala besar, serta penutupan atau penghentian fasilitas produksi baja di AS.

Dengan demikian, golden share bukan hanya simbol politik, melainkan bagian dari kerangka kebijakan yang memberikan negara posisi kendali strategis. Negara tidak mengambil alih kepemilikan penuh, tetapi memastikan bahwa keputusan korporasi tidak bertentangan dengan tujuan nasional. Inilah bentuk baru kapitalisme Amerika, kapitalisme yang dijaga oleh tangan negara ketika menyangkut kedaulatan industri.

Penerbitan golden share dalam kasus US Steel ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah moderen kebijakan industri AS. Selama ini, pemerintah AS dikenal menjunjung tinggi prinsip pasar bebas dan sangat jarang menggunakan instrumen kontrol langsung atas perusahaan swasta, bahkan di sektor strategis. Langkah ini menandai pergeseran besar dalam cara negara memosisikan diri terhadap sektor industri: bahwa dalam konteks geopolitik dan tantangan global saat ini, bahkan negara yang paling liberal pun mulai merumuskan ulang cara menjaga kedaulatan ekonomi nasionalnya.

Lebih dari sekadar respons terhadap satu transaksi, kebijakan ini mencerminkan transformasi prinsipil dalam doktrin ekonomi AS. Jika sebelumnya pemerintah Amerika menempatkan diri sebagai wasit pasar yang netral, kini negara tampil sebagai aktor yang secara aktif menetapkan batas dan arah dari keputusan korporasi. Dengan golden share, AS mengadopsi salah satu instrumen yang selama ini lebih identik dengan negara-negara yang menekankan kedaulatan industri seperti Tiongkok, India, dan Brasil. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam era ketegangan geopolitik dan disrupsi rantai pasok global, batas antara kapitalisme pasar dan intervensi negara mulai menipis—dan Amerika Serikat kini resmi memasuki babak baru di dalamnya.

Baca Juga :   Bank Mandiri Berikan Perlindungan Asuransi ke Petugas Medis Pasien Covid-19

 

Relevansi bagi Indonesia

Dari kasus akuisisi US Steel, kita dapat menarik beberapa pelajaran berharga. Pertama, industri baja merupakan sektor strategis yang membutuhkan kehadiran negara sebagai pengendali. Kedua, pengendalian tersebut dapat dilakukan melalui mekanisme golden share, sebagaimana dipersyaratkan oleh pemerintah AS dalam transaksi akuisisi US Steel oleh Nippon Steel. Ketiga, golden share bukan hanya bentuk simbolik, tetapi dapat disusun dalam skema hukum yang memberikan negara hak nyata untuk mengontrol keputusan strategis perusahaan yang beroperasi di sektor penting.

Namun penting untuk dipahami bahwa pendekatan AS berakar pada prinsip liberalisme ekonomi, di mana peran negara minimal dalam kegiatan ekonomi. Karena itu, kita juga perlu mencermati bagaimana negara lain membangun dan mengendalikan industri baja melalui pendekatan yang berbeda. Tiongkok dan India, misalnya, menunjukkan bagaimana negara hadir secara langsung melalui BUMN yang kuat dan aktif. Hal serupa juga pernah diterapkan oleh negara-negara seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan berbagai negara maju lainnya, yang pada tahap awal industrialisasinya membangun industri baja melalui badan usaha milik negara.

Dengan demikian, pesan penting yang perlu dicatat adalah bahwa membangun industri strategis seperti baja membutuhkan komitmen untuk menempatkan negara sebagai aktor utama, baik melalui BUMN yang kokoh, instrumen hukum seperti golden share, maupun perpaduan keduanya, guna memastikan kendali negara atas arah pembangunan industri. Sebab tanpa kehadiran negara, kedaulatan industri hanya akan menjadi wacana, dan harapan untuk menjadikan baja sebagai tulang punggung pembangunan nasional akan sulit terwujud.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics