Ekonomi 60 Negara Diramalkan Ambruk, Indonesia Bagaimana?
Presiden Joko Widodo belum lama ini memencet tombol tanda bahaya terkait kondisi ekonomi global. Mengacu analisis sejumlah lembaga seperti IMF, Bank Dunia dan PBB, Presiden menyampaikan ekonomi 60 negara diperkirakan akan ambruk akibat krisis global.
Kondisi ekonomi global saat ini memang dibayangi oleh situasi yang disebut stagflasi, suatu kondisi dimana pertumbuhan ekonomi mengalami kelesuhan, tetapi pada saat yang sama inflasi mengalami kenaikan.
Kondisi stagflasi ini terjadi karena sejumlah sebab. Pertama, masih karena pandemi Covid-19. Negara seperti Tiongkok memberlakukan kebijakan zero Covid dengan melakukan lockdown saat terjadi kenaikan kasus positif.
Kedua, perang di Ukraina menimbulkan kenaikan harga-harga komoditas terutama energi dan pangan. Disrupsi sisi suplai yang sudah terjadi sejak pandemi Covid-19 berkecamuk, makin berkepanjangan karena perang tersebut. Ini menyebabkan tekanan inflasi global yang meningkat.
Ketiga, kondisi inflasi tinggi ini direspons dengan pengetatan kebijakan moneter. Pada saat yang sama, banyak negara yang ruang fiskalnya terbatas karena sudah banyak digunakan untuk menangani pandemi Covid-19.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan risiko baru ekonomi global ini menyebabkan sejumlah lembaga internasional merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini. IMF misalnya, pada April lalu, memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun ini hanya 3,6%, lebih rendah 0,8 percentage point dari perkiraan sebelumnya. IMF juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 ke level 3,6%, lebih rendah 0,2 percentage point dari proyeksi sebelumnya.
Terbaru, pada Juni ini Bank Dunia juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global ke level 2,9%, lebih rendah 1,2 percentage point dari proyeksi sebelumnya. Sedangkan pada tahun 2023, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global sebesar 3%, turun 0,2 percentage point dari proyeksi sebelumnya.
Tekanan inflasi yang sangat tinggi di sejumlah negara, direspons oleh bank sentral dengan menaikan suku bunga. Di Amerika, misalnya, Federal Reserve telah menaikkan suku bunga sebesar 0,75% (75 bps) ke level 1,5%-1,75% pada Juni ini untuk menjinakan tingkat inflasi yang pada Mei lalu sudah mencapai 8,6%. Kenaikan suku bunga ini juga dibarengi ini dengan pengetatan likuiditas dalam bentuk balance sheet The Fed dalam memegang surat-surat berharga diproyeksikan mengalami penurunan. “Ini kombinasi yang sangat mempengaruhi kesehatan ekonomi dunia, yaitu interest rate naik dan likuiditas ketat. Tentu ini akan mempengaruhi banyak negara,” ujar Sri Mulyani, Kamis (23/6).
Sri Mulyani mengatakan berdasarkan studi yang dilakukan oleh IMF, lebih dari 60 negara kondisi APBN maupun kondisi ekonominya, terutama keseimbangan eksternalnya, sangat-sangat tertekan. “Dengan adanya pengetatan ini, diperkirakan akan memicu adanya kesulitan ekonomi yang cukup serius di berbagai negara,” ujar Sri Mulyani.
Pilihan kebijakan menaikkan suku bunga dan pengetatan likuiditas di Amerika Serikat untuk merespons inflasi tinggi, diperkirakan akan membawah negara itu ke jurang resesi. Celakanya, resesi negara dengan perekonomian terbesar di dunia akan berdampak ke negara-negara lain di dunia.
Indonesia Masih Tumbuh Kencang
Di tengah tren pertumbuhan ekonomi global yang direvisi ke bawah ini, ekonomi Indonesia diperkirakan masih tumbuh cukup kencang. Sri Mulyani mengatakan Bank Dunia memang merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini, yaitu di 5,1%. Tetapi, tingkat pertumbuhan tersebut masih relatif tinggi. “Tahun depan, World Bank justru melakukan revisi ke atas, dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 5,3%,” ujar Sri Mulyani.
IMF juga merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini dari 5,8% ke 5,4%. Tetapi tahun depan, IMF memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 6%.
Tingkat inflasi di Indonesia, dibandingkan negara-negara lain juga masih relatif terkendali yaitu berada di level 3,6% pada Mei lalu. “Negara-negara lain itu level inflasiya sudah di atas 7% bahkan 9%, seperti Brasil, Inggris, USA, Uni Eropa, India, Meksiko, Thailand,” ujar Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, kinerja ekonomi Indonesia salah satunya ditopang oleh sektor eksternal. Kenaikan harga komoditas menguntungkan Indonesia sebagai negara yang memproduksi komoditas. Hal ini terlihat dari ekspor Indonesia hingga Mei yang masih mencatatkan surplus US$21,5 miliar. Meski mencatkan surplus, tetapi Sri Mulyani mengatakan memang perlu diwaspadai karena pertumbuhan impor sudah lebih tinggi dari ekspor. Artinya, bila tidak dijaga, surplus neraca perdagangan bakal bisa makin mengecil.
Pemulihan ekonomi domestik juga antara lain terlihat dari lonjakan impor bahan baku dan barang modal. Impor bahan baku naik 3,9% dan barang modal naik 29,2%. “Ini berarti permintaan terhadap produksi meningkat. Ini juga dikonfirmasi dengan konsumsi listrik di industri dan bisnis. Konsumsi listrik di industri tumbuh 16,4% dan bisnis tumbuh 9,3%,” ujar Sri Mulyani.
Dari sisi konsumsi, Mandiri Spending Index mencapai level tertinggi sejak Januari 2020 yaitu 149,2. “Ini artinya, kelompok menengah atas melakukan spending dengan menggunakan kartu kredit dan inilah yang menunjukkan kenaikan dari aktivitas ekonomi,” ujarnya.
Sri Mulyani memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal kedua tahun 2022 ini, berada di kisaran 4,8% hingga 5,3%. “Kita memperkirakan akan lebih mendekati angka 5%,” ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini digerakan oleh konsumsi rumah tangga, investasi dan ekspor. “Ini tentu menggembirakan, karena pertumbuhan ekonomi sekarang tidak tergantung lagi hanya dari sisi APBN. Bahkan APBN sekarang mulai bergeser menjadi instrumen untuk menjaga shock, tetapi bukan sebagai lokomotif utama pertumbuhan ekonomi. Karena, sekarang mesin pertumbuhan sudah mulai menyala di konsumsi, investasi dan ekpsor,” ujarnya.