Fokus Stabilisasi Rupiah karena Ketidakpastian Meningkat, BI Kembali Tahan BI Rate
Sesuai perkiraan ekonom, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17-18 Desember 2024 kembali mempertahankan BI Rate pada level 6%.
Kebijakan ini mempertimbangkan perubahan kondisi ekonomi politik global terutama pasca terpilihnay Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.
“Kami akan tetap fokus dulu menstabilkan nilai tukar Rupiah. Karena ketidakpastian pasar keuangan global semakin meningkat,” kata Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (18/12).
Perry mengatakan, ruang penurunan suku bunga acuan BI “tetap terbuka”. Tetapi, ia mengatakan, “Timing is not right yet.”
“Kami akan terus mencermati ruang penurunan suku bunga dengan inflasi yang rendah dan keinginan kami untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Untuk melakukan stabilisasi nilai tukar Rupiah, Bank Indonesia, jelas Perry, akan terus melakukan intervensi di pasar spot dan Domestic Non Deliverable Forward (DNDF).
“Jumlahnya juga kami tingkatkan. Kami terus melakukan intervensi untuk memastikan stabilitas nilai tukar Rupiah,” ujarnya.
Selain intervensi, Bank Indonesia juga akan menerbitkan Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dengan imbal hasil yang menarik.
Stabilisasi nilai tukar juga dilakukan Bank Indonesia melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. “Jumlahnya juga relatif banyak,” kata Perry.
Tekanan pada Rupiah, jelas Perry, terjadi karena setelah Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, terjadi pembalikan modal asing (capital outflow) dari emerging market termasuk Indonesia.
“Triwulan IV itu memang secara keseluruhan terjadi outflow US$ 2,4 miliar, yang terbesar adalah saham US$1,9 miliar,” ujarnya.
Mengapa Terjadi Peningkatan Ketidakpastian?
Pada konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur [RDG] November 2024, Perry Warjiyo mengatakan, Bank Indonesia memperkirakan kebijakan ekonomi dan politik Trump akan cenderung inward looking atau mementingkan kepentingan domestik.
Konsekuensinya, kata Perry, Trump akan menerapkan tarif perdagangan yang tinggi ke negara-negara mitra dagang Amerika Serikat, terutama kepada negara-negara yang mengalami surplus besar terhadap Amerika Serikat, seperti China, Kanada, Uni Eropa, Meksiko dan Vietnam.
“Tarif perdagangan yang tinggi bahkan kemungkinan mulai akan diterapkan pada semester II 2025. Misalnya kepada Uni Eropa ada tarif 25% untuk besi aluminium,kendaraan bermotor, dan yang lain. Dengan China 25% untuk mesin elektronik dan chemical,”kata Perry.
Dalam konferensi pers hasil RDG Desember ini, Perry mengatakan, rezim Donald Trump kemungkinan memperluas cakupan negara yang akan dikenai tarif impor tinggi. Tak hanya negaranya yang bertambah, besaran tarif dan jumlah komoditasnya pun bertambah.
Bulan lalu, Perry mengungkapkan, pengenaan tarif impor yang tinggi itu hanya lima negara yaitu Tiongkok, Kanada, Meksiko, Uni Eropa dan Vietnam.
Bacaan terbaru BI, tarif impor yang tinggi itu juga dikenakan untuk Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara lain.
“Intinya adalah negara-negara yang mempunyai surplus neraca perdagangan dengan Amerika yang tinggi. Indonesia, kalau tidak salah, di rangking 15. Insyaallah tidak menjadi sasaran yang dilakukan sekarang,” ujar Perry.
Kemudian dari sisi besaran tarif, bacaan terbaru BI, kata Perry, tarif ke Tiongkok meningkat dari sebelumnya 25% menajdi 30%. Sementara untuk Uni Eropa dan Inggris tetap sebesar 25%.
“Sementara itu, untuk negara-negara Meksiko, Kanada, Jepang, Korea Selatan dan Vitenam, bacaan kami terakhir akan dikenakan 10%,” ujar Perry.
Komoditas yang dikenakan tarif impor tinggi ke Amerika Serikat juga bertambah, kata Perry. Untuk Eropa dan Inggris, selain besi baja, aluminium dan kendaraan bermotor, juga logam dasar.
Sementara untuk Tingkok, tak hanya mesin, elektronik, dan bahan kimia, tetapi semua seluruh produk impor dari negeri Tirai Bambu itu.
Sementara komoditas yang dikenakan tarif impor tinggi dari Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Kanada dan Meksiko adalah besi baja, aluminium, logam dasar dan kendaraan bermotor. Khusus untuk Vietnam juga termasuk solar panel.
Perang dagang antara Amerika Serkat dan sejumlah negara ini, kata Perry, akan berdampak pada perlambatan ekonomi dunia serta kenaikan inflasi karena terganggunya rantai pasok.
“Kalau ada tarif, jelas volume perdagangan akan menurun dan juga akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia, juga harga-harga di berbagai negara naik,” ujarnya.
Bank Indonesia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2025 melambat menjadi 3,1% dari sebesar 3,2% pada 2024.
Tingkok sendiri tak tinggal diam dengan ancaman perang tarif dari Amerika Serikat. Pada 3 Desember lalu, Beijing sudah mengumumkan akan membatasi ekpor ke Amerika Serikat untuk produk mineral, kalium, germanium dan antimoni, yang digunakan untuk aplikasi militer dan bahan-bahan untuk chip dan semikonduktor.
Perry mengatakan, Tiongkok menguasai 99,8% pengolahan kalium, 48% antimoni dan 59% germanium.
Bagaimana dengan Suku Bunga di Amerika Serikat?
Perry mengatakan, Bank Indonesia memperkirakan Federal Open Market Committee (FOMC) Federal Reserve (The Fed) pada Desember ini masih menurunkan Fed Fund Rate [FRR] sebesar 25 basis poin [bps], seperti perkiraan bulan lalu.
Tetapi, tahun depan penurunan FRR diperkirakan terbatas, hanya dua kali. Semula BI memperkirakan penurunan FRR itu dilakukan pada Maret dan Mei, masing-masing 25 bps. Tetapi, Perry mengatakan, kemungkinan penurunan kedua baru dilakukan pada Juni sebesar 25 bps.
Hal yang harus dicermati adalah imbal hasil US Treasury atau obligasi pemerintah Amerika Serikat. Perry mengatakan, US Treasury tenor dua tahun imbal hasilnya dipengaruhi oleh FRR. Sementara imbal hasil US Treasury 10 tahun ke atas dipengaruhi oleh rencana kebijakan fiskal pemerintah Amerika Serikat. Bank Indonesia memperkirakan defisit anggaran pemerintah Amerika Serikat pada tahun depan melebar menjadi 7,7%.
“Nah, defisit anggaran itu berdampak kepada prospek yield atau imbal hasil US Treasury baik 10 tahun maupun dua tahun yang lebih tinggi,” ujarnya.
Saat ini, imbal hasil US Treasury dua tahun sekitar 4,2%. Perry mengatakan, BI memperkirakan akhir tahun 2025 bisa meningkat menjadi 4,5%.
Sementara imbal hasil US Treasury 10 tahun, saat ini berada di level 4,34%. Bank Indonesia memperkirakan tahun depan, naik menjadi 4,7%.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat ini berpotensi meningkatkan aliran modal dari pasar keuangan emerging market ke Amerika Serikat, sehingga Indeks Dolar (DXY) meningkat. Saat ini, DXY berada di level 106-107.