Ekonom Perkirakan Bank Indonesia Tahan BI Rate di Level 6%
Sejumlah ekonom yang dihubungi Theiconomics.com pada Selasa (17/12), memperkirakan Bank Indonesia bakal kembali mempertahankan BI Rate pada Rapat Dewan Gubernur [RDG] 17-18 Desember.
Dalam dua RDG sebelumnya, BI mempertahankan BI Rate pada level 6%, setelah turun 25 basis poin [bps] pada RDG 17-18 September 2024.
Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro memperkirakan BI kembali mempertahankan BI Rate pada level 6%.
“Karena tekanan penguatan Dolar Amerika Serikat (USD) masih cukup besar,” kata Andry.
Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, Rupiah cenderung tertekan karena masih ada aliran modal keluar (outflow) terutama pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada pemilu November lalu.
Sehingga, sama seperti Andry, David juga memperkirakan BI mempertahankan BI Rate pada level 6%.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Evalita Situmorang mengatakan, ada dua hal yang mendorong pelemahan Rupiah.
Pertama, pasar masih menanti pelantikaan Trump pada 20 Januari 2025. Secara historis, kata perempuan yang disapa Anna ini, indeks Dolar (DXY) cenderung menguat.
Faktor kedua adalah, China yang secara eksplisit mendorong pelemahan Yuan sebagai upaya mengurangi risiko kenaikan tarif impor oleh rezim Donald Trump.
“Kedua kondisi ini cenderung berpotensi mendorong pelemahan Rupiah di jangka pendek,” ujar Anna.
“Jadi, kita melihat BI cenderung menjaga kestabilan nilai tukar, salah satunya dengan menahan suku bunga,” tambah Anna.
Anna menambahkan, ruang penurunan BI Rate sebenarnya masih ada, karena bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, diperkirakan menurunkan suku bunga sebesar 25 bps dalam Federal Open Market Committee (FOMC) pada 18 Desember 2024.
Sebelumnya, dalam RDG November lalu, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo memperkirakan Fed Fund Rate [FRR] diperkirakan menurun 25 bps pada FOMC Desember ini.
Namun, Perry mengatakan, laju penurunan FRR ini makin terbatas pasca terpilihan Donald Trump karena penurunan inflasi yang lebih lamban.
Perry mengatakan, Donald Trump akan memberikan insentif pajak kepada korporasi domestik dan warga Amerika Serikat.
Kebijakan berupa pemotongan pajak korporasi dan pajak orang pribadi itu, kata Perry, akan mendorong pertumbuhan ekonomi domestik Amerika Serikat.
Dengan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang baik, tambah Perry, laju penurunan inflasi negara itu pun akan “lebih lama”.
“Perkiraan kami terkini, kemungkinan FRR masih akan turun 25 basis poin di Desember. Tetapi untuk tahun depan, yang kami perkirakan semula turun 75-100 basis poin, perkiraan kami terkini hanya turun 50 basis poin. [Penurunan FRR hanya] dua kali saja tahun depan,” ujar Perry.
Kebijakan Trump yang menggenjot ekonomi domestik, juga akan berimplikasi pada semakin melebarnya defisit fiskal. Bank Indonesia, kata Perry, memperkirakan defisit APBN Amerika Serikat pada 2025 membengkak menjadi 7,7%, dari semula hanya 6,5%.
Untuk menutup defisit tersebut, pemerintahan Donald Trump diperkirakan akan menerbitkan lebih banyak surat utang.
Penerbitan lebih banyak surat utang ini, membuat imbal hasil atau yield US Treasury meningkat, baik surat utang jangka waktu dua tahun, maupun 10 tahun.
Terbatasnya penurunan FRR dan meningkatnya imbal hasil US Treasury, menyebabkan investor global kembali melirik instrumen keuangan di Amerika Serikat, sehingga terjadi capital outflow dari pasar emerging market ke Amerika Serikat.
Capital outflow menyebabkan indeks dolar meningkat. Penguatan dolar ini terjadi di seluruh mata uang dunia, baik negara maju maupun berkembang, termasuk Rupiah.