PT PANN (Persero), BUMN yang Tercekik oleh Kebijakan Rezim Masa Lalu
Bila ingin melihat potret salah urus BUMN di masa lalu, tengok saja nasib PT Pengembangan Armada Niaga Nasional atau PT PANN (Persero). Perusahaan yang 93,04% sahamnya dimiliki oleh pemerintah dan 6,96% punya Bank Mandiri (Persero), sudah sejak lama kondisinya antara ada dan tiada.
Direktur Utama PT PANN, Hery S Soewandi bahkan menyebut kondisi BUMN pembiayaan kapal ini sudah lama koma. Padahal, perusahaan yang berdiri tahun 1974 ini pernah memiliki masa kejayaan. Hery mengatakan pada kurun 1974-1984, PT PANN sudah berhasil memberikan pembiayaan untuk pengadaan 74 unit kapal genaral cargo dengan bobot 400 DWT hingga 6.000 DWT kepada 21 perusahaan pelayaran nasional.
Kemudian antara tahun 1984-1993, PT PANN juga memberikan pembiayaan untuk pengadaan 22 unit kapal. Salah satunya kapal KM Tarahan yang merupakan kapal coal carrier pertama di Indonesia dengan bobot 11.000 DWT. Pada periode itu, PT PANN juga memberikan pembiayaan untuk pengadaan kapal Caraka Jaya, sebuah kapal general cargo dan semi container dengan bobot 3.000 DWT-4.000 DWT di sembilan galangan nasional.
Namun, petaka kemudian datang di tahun 1994/1995. Pemerintah menugaskan PT PANN (Persero) sebagai executing agency utang Subsidiary Loan Agreement (SLA) atas dua proyek Pemerintah.
Pertama, proyek pengadaan 10 pesawat Boeing 737-200 Eks Lufthansa dalam rangka jetisasi industri penerbangan Indonesia. Ini merupakan proyek kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Jerman. Berdasarkan perjanjian SLA No 775/DP3/1994, nilai proyek ini sebesar US$ 89.610.000.
Penugasan kedua adalah untuk proyek pengadaan 31 ship set Kapal Ikan Mina Jaya Niaga dalam rangka kerja sama dan alih teknologi dengan pemerintah Spanyol. Berdasarkan SLA N0.779/DP3/1994 nilai proyek ini adalah US$ 182.257.692.
Penugasan dari pemerintah saat itu, menurut Hery, sudah keluar dari core bisnis PT PANN yang fokus memberikan pembiayaan untuk pengadaan kapal niaga bukan pesawat terbang dan juga bukan kapal penangkap ikan. Namun, saat itu, sebagai BUMN, tidak bisa menolak penugasan tersebut.
Apesya, penugasan ini membuat PT PANN terpuruk karena dua proyek tersebut alih-alih membawa keuntungan malah membuat perusahaan ini merugi. Dalam proyek-proyek tersebut, menurut Hery, PANN sama sekali tidak menerima uang tunai maupun barang. Bahkan harga jual kapal dan sewa pesawat sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah. Pemerintah juga yang menunjuk galangan kapal untuk pengadaan 31 unit kapal dan juga menunjuk operator untuk 10 unit peswat tadi.
Parahnya, dari 31 unit Kapal Ikan Mina Jaya Niaga yang dibangun pada galangan yang ditunjuk pemerintah tadi, hanya 14 unit yang berhasil diselesaikan. Sementara 17 lainnya tidak diselesaikan tetapi masih dalam bentuk konteiner di galangan.
PT PANN kemudia diwajibkan membayar eskalasi biaya pembangunan 14 unit kapal tersebut sebesar Rp 126 miliar pada tahun 1996 ditambah administrasi bank sebesar Rp 23,8 miliar (kurs Rp 9.020/USD).
Masalahnya, 14 unit kapal yang dibangun itu tidak laku dijual. “Karena harga yang ditetapkan pemerintah itu tiga kali lebih mahal dari harga pasar sehingga tidak terserap di pasar,” ujar Hery di hadapan Komisi VI DPR RI, Rabu (19/2) lalu.
Demikian juga 10 unit pesawat hasil kerja sama dengan pemerintah Jerman. Ke- 10 unit pesawat ini semula akan digunakan oleh Garuda karena dianggap itu adalah program jetisasi pertama pesawat terbang di Indonesia. Namun, terang Hery, saat itu Garuda menolak menerima pesawat tersebut karena tidak sesuai spesifikasi. Di perjanjian disebutkan merupakan pesawat dengan mesin baru, tetapi nayatanya kondisi mesinnya sudah berusia lebih dari 10 tahun.
Pesawat-pesawat itu kemudian disewakan oleh pemerintah kepada Merpati (3 unit), Sempati (2 unit), Bouraq (3 unit) dan Mandala (2 unit). Keempat perusahaan penerbangan ini semuanya sudah pailit sehingga PANN tidak menerima hasil dari leasing pesawat tersebut. Hery mengatakan kecuali Merpati yang pernah sekali membayar sekali ke PANN, tiga perusahaan lainnya tidak pernah membayar leasing ke PANN.
Sebanyak 14 unit kapal dan 10 unit pesawat tersebut, menurut Hery, kini masih tercatat sebagai aset milik PT PANN. “Karena seluruh pinjamannya kami yang tanggung,” ujarnya.
Tetapi persoalannya, masihkah ada jejak dari barang-barang tersebut saat ini?
Hery mengungkapkan dari 14 unit Kapal Ikan Mina Jaya Niaga, sebanyak 11 unit saat ini masih mengapung di sebuah perusahaan galangan kapal di Makasar dan 3 unit lainnya disewakan kepada PT Perikanan Nusantara (Pernus). Dari tiga yang disewakan itu, menurut Hery, saat ini juga sedang bermasalah. Belum setahun digunakan oleh Pernus, Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)-nya habis. Tetapi sayangnya tak bisa diperpanjang karena spek kapalnya itu tidak sesuai dengan undang-undang Perikanan dan Kelautan dimana kapal penangkap ikan memiliki bobot maksimal 150 GT. Padahal tiga unit Kapal Ikan Mina Jaya Niaga itu berbobot 300 GT.
Hery juga menambahkan dari total 14 unit kapal tadi, berdasarkan kajian Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, hanya 5 unit yang masih layak untuk digunakan.
Bagaimana dengan pesawat? Dari 10 unit yang tersisah saat ini ada 8 unit. Sebanyak 3 unit berada di tempat Merpati di Surabaya, tiga unit di Bandara Cengkareng, dan 2 unit di PTDI. Dua lainnya sudah jatuh. Salah satunya patah saat mendarat di Malang. Sedangkan satunya lagi jatuh di Medan yaitu yang digunakan oleh Mandala. Pesawat yang jatuh pada 5 Septeber 2005 selain mengangkut 117 orang, juga membawa 2 ton durian. Salah satu penumpang di dalamnya adalah Gubernur Sumatera Utara kala itu Tengku Rizal Nurdin.
Akibat dua proyek penugasan pemerintah tersebut, Hery menjelaskan, pada kurun 2004-2011, lukuiditas perusahaan negatif karena keuntungan dari bisnis inti pembiayaan kapal tidak dapat menutupi kerugian pembiayaan pesawat dan kapal ikan. Kondisi kian parah, karena menurutnya, pembiayaan sektor perkapalan mengalami penurunan.
Hery mengungkapkan dari total pinjaman dua proyek penugasan tadi yang masing senilai US$ 89,6 juta dan US$ 182,25 juta, tidak pernah sepersen pun dananya diterima oleh PT PANN. Tetapi, malah PT PANN sendiri hingga tahun 2006 sudah melakukan pembayaran pokok dan bunga pinjaman sebesar US$ 34 juta.
“Tetapi kemudian PANN berhenti karena kehabisan nafas untuk membayar,” ujarnya.
Karena sudah tak mampu membayar, tahun 2006 PT PANN mengajukan moratorium kepada pemeritah agar utang-utang tersebut tidak dibungakan lagi. Alasannya, karena PT PANN tidak pernah menerima pembayaran dari klien atau operator yang dibiayai oleh pemerintah dalam dua proyek tersebut.
Tahun 2012 dan 2013, PT PANN melakukan restrukturisasi utang SLA tersebut. Selain itu itu, perusahaan juga mendirikan anak usaha baru yaitu PT PANN Pembiayaan Maritim (PPM Multifinance).
Kemudian sejak tahun 2014, PT PANN mengajukan usulan Penyerataan Modal Negara (PMN) non tunai untuk mengkonversi utang yang diakibatkan oleh dua program penugasan pemerintah tadi. Setelah lama diajukan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan baru memberikan PMN non tunai kepada PANN pada APBN 2020 ini. PMN non tunai ini mengkonversi utang SLA senilai Rp 3,75 triliun.
Semoga dengan penghapusan utang SLA ini, PT PANN kembali mengembangkan layarnya di dunia pembiayaan kemaritiman Indonesia.