Pelaku Industri Antisipasi Ekses Negatif dari Metaverse
Pelaku industri mengantisipasi munculnya berbagai ekses negatif dari metaverse yang merupakan bagian dari era Web 3.0. Berbagai permasalahan pada era Web 2.0 saat ini seperti kebocoran data pribadi, hate speech, cyberbullying dan lainnya diupayakan untuk tidak terjadi lagi.
Facebook, yang secara resmi namanya diubah menjadi Meta pada Oktober 2021 lalu, selain melakukan investasi besar-besaran untuk pengembangan teknologi metaverse seperti Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR), juga melakukan berbagai riset untuk mencegah berbagai ekses negatif yang bisa muncul saat metaverse kelak menjadi bagian keseharian umat manusia.
Noudhy Valdryno, Manajer Kebijakan Publik Meta Inc untuk Indonesia dan beberapa negara di Asia Pasifik mengatakan munculnya berbagai ekses negatif dari perkembangan internet saat ini, yang disebut era Web 2.0, terjadi karena sebelumnya tidak diantisipasi dengan baik.
“Akhirnya kita dealing sama masalah-masalah kebocoran data pribadi, hate speech dan lain-lain. Itu perlu juga dipersiapkan bagaimana caranya kita safeguarding metaverse environment,” ujar Noudhy dalam acara Indonesia Metaverse Show 2023 yang digelar oleh Fordigi BUMN, Rabu (18/1).
Meta, menurunya, menggandeng berbagai universitas seperti di Singapura, Hongkong, dan Korea, melakukan berbagai riset terkait penggunaan metaverse secara praktical dan bagaimana dampaknya di masa depan. Selain itu, yang paling penting juga adalah how to safeguard metaverse agar berbagai permasalahan negatif pada era Web 2.0 tidak terjadi lagi di era Web 3.0 kelak.
Dalam acara yang sama pada sesi yang berbeda, Kaspar Situmorang, EVP Digital Banking Development & Operationa Division BRI mengatakan mengantisipasi berbagai ekses negatif ini, ada dua hal yang dilihat yaitu dari sisi teknis dan non teknis. Dari sisi teknis adalah terkait dengan keandalan atau reliabilitas infrastruktur teknologi metaverse.
“Begitu sudah menjadi sebuah keniscayaan maka reliabilitas tadi menjadi nomor satu, karena downtime itu menjadi penting dan uptime menjadi super penting,” ujarnya.
Dari aspek non teknis, tambah Kaspar, beberapa hal yang perlu dipersiapkan dari sekarang misalnya terkait perpajakan.
“Karena metaverse ini adalah sinergi eksosistem blockchain, cryptocurrency, digital aset di dalamnya. Sehingga bagaimana nanti kita bertransaksi, berdagang di dalamnya tadi, aspek pajaknya bagaimana? Jangan sampai nanti pas barang ini jalan, baru kita mikirin pajak. Itu saya kira salah satu aspek non teknis juga,” ujarnya.
Selain perpajakan, aspek non teknis yang juga harus dipikirkan adalah tata kelola. Misalnya terkait aspek Know Your Customer (KYC) seperti di perbankan untuk menghindari terjadinya money laundering atau pencucian uang.
“Kita lihat kemarin crypto exchange terbesar di dunia lost dalam satu malam, duitnya hilang miliran US Dollar. Ini yang kita di dunia perbankan enggak bisa spekulatif mainnya, harus betul-betul tata kelolanya, KYC-nya tadi itu sudah ada untuk meningkatan trust di dalam bertransaksi antara pedagang dan pembelinya tadi itu,” ujarnya.
Tata kelola juga terkait dengan bagaimana mengantisipasi perundungan dunia maya atau cyberbullying. “Aspek cyberbullying harus ada tata kelolanya. Kalau enggak, yang lemah pasti akan ditekan terus sama yang kuat,” ujarnya.
Ery Punta selaku Deputy EPV Telkom mengatakan karena dunia metaverse ini nyaris menyerupai dunia riil, maka selain dari sisi provider teknologi, dari sisi pengguna juga harus ada kesadaraan untuk menjaga dirinya.
“Ibarat kayak keluar rumah, apa yang harus kita persiapkan? Kita mau naik kendaraan umum, mau kendaraan pribadi, semuanya harus siap. Sama dengan kita masuk ke metaverse, yang kita siapin apa? Apakah kita dalam berkomunikasi atau berinteraksi itu menyampaikan suatu informasi yang seharusnya, yang memang sesuai?” ujar Ery.