Lanjutan Studi Bersama, Pertamina NRE dan TEPCO HD akan Kembangkan Hidrogen dan Amonia Rendah Karbon
Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE) dan Tokyo Electric Power Company Holdings, Incorporated (TEPCO HD) menjalin kerja sama pengembangan bersama hidrogen rendah karbon dan amonia rendah karbon.
Kedua perusahaan menandatangani perjanjian yang memperjelas struktur dan jadwal kegiatan kolaborasi yang akan dilaksanakan lebih lanjut dan menetapkan bahwa Pertamina NRE dan TEPCO HD akan bekerja sama untuk proyek tahap pertama, yang dijadwalkan mulai bergulir pada tahun 2024. Pertamina NRE dan TEPCO HD sedang mempersiapkan pembangunan fasilitas produksi hidrogen yang berada di pembangkit listrik tenaga panas bumi Lahendong milik PT Pertamina Geothermal Energy, Tbk anak perusahaan Pertamina NRE yang berlokasi di Sulawesi Utara.
Sebelumnya pada tanggal 18 Oktober 2022, Pertamina NRE dan TEPCO HD meneken perjanjian studi bersama untuk pengembangan hidrogen dan amonia hijau di area panas bumi Lahendong, Sulawesi Utara. Studi bersama yang dilakukan kedua entitas mendapatkan dukungan dari NEDO, lembaga riset dan pengembangan nasional Jepang yang mendorong pengembangan teknologi dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang berkelanjutan.
“Clean hydrogen merupakan salah satu bisnis masa depan Pertamina. Kami sangat antusias berkolaborasi dengan TEPCO sebagai mitra yang bereputasi global untuk pengembangan green hydrogen dan green amonia. Kami yakin kerjasama ini akan menciptakan nilai yang signifikan terutama dalam upaya transisi energi dan dekarbonisasi,” kata Chief Executive Officer Pertamina NRE, Dannif Danusaputro dalam keterangan resminya.
Executive Vice President of TEPCO HD, Chikara Kojima mengatakan TEPCO HD sudah melakukan produksi hydrogen di Prefektur Yamanashi sejak 2016 dengan pengalaman teknologi yang sangat mutakhir.
Hidrogen dihasilkan dari proses elektrolisis. Hidrogen bersih memiliki peran strategis dalam transisi energi di mana dapat menjadi solusi pengganti bahan bakar fosil bagi industri yang sulit melakukan dekarbonisasi terhadap produk ataupun proses produksinya (hard-to-abate industry), seperti kilang minyak, industri baja, industri berat lainnya, serta transportasi berat.