YouTube Ungkap Tren Konten Kreator Indonesia di Tahun 2024

0
42

Pihak YouTube melihat konten kreator Indonesia dipandang sebagai representasi negara dan komunitasnya. Meski kerap mengikuti tren global, para kreator tetap berkomitmen untuk berkarya dengan gaya mereka sendiri. Hal ini membuat budaya online Indonesia di YouTube didominasi oleh kreator yang mengedepankan keunikan dan lokalitas, sekaligus menarik perhatian audiens global berkat identitas lokal yang otentik.

Tahun ini, Pihak YouTube melihat bahwa dalam mempromosikan kultur lokal ke audiens yang lebih luas, atlet Indonesia menjadi salah satu penggerak utama. Setelah mencuri perhatian di ajang internasional seperti Piala Asia AFC 2024 dan Kualifikasi Asia Piala Dunia 2026, Tim Nasional Sepak Bola Indonesia (Timnas Indonesia) menjadi topik hangat di YouTube.

Para kreator mengunggah berbagai konten seputar perjalanan Timnas, mulai dari cuplikan pertandingan dan analisis strategi, hingga momen candid para pemain dan pelatih. Konten yang dihasilkan oleh fans lokal maupun global ini turut menyemarakkan dukungan terhadap tim. Faktanya, secara global, kanal resmi Timnas Indonesia mendapatkan lebih dari 250 ribu subscribers dan lebih dari 20 juta penayangan pada tahun 2024.

Baca Juga :   Ekonomi Digital Indonesia Diprediksi Capai US$ 90 M di 2024, Begini Penjelasan Laporan e-Conomy SEA

Tak hanya sepak bola, jenis konten olahraga juga semakin beragam. Salah satunya adalah Red Sparks, tim bola voli asal Korea Selatan, yang berhasil menarik perhatian di Indonesia berkat kehadiran pemain Indonesia, Megawati, menjembatani kedua budaya sekaligus mempererat hubungan antar penggemar.

Serupa dengan tren yang kita lihat di Year in Search tahun ini, nuansa lokal adalah kunci. Kreator Indonesia berhasil membuat konten yang berbeda dengan mengadaptasi format global seperti kompetisi edutainment Clash of Champions (yang terinspirasi dari acara serupa di Korea Selatan, ‘University War’) atau laga tinju live streaming BYON Combat (yang mirip dengan laga dari kreator Barat seperti Jake Paul dan KSI) menunjukkan bahwa para kreator Indonesia mampu menyerap format dan tren luar negeri, untuk menciptakan momen budaya pop dengan kearifan lokal.

Kecintaan terhadap musik dan suara lokal dalam video pendek juga marak di YouTube. Para DJ di Indonesia kerap melakukan remix berbagai musik dan mencapai kepopuleran melalui platform video pendek. “My Lecon”, lagu boyband asal Korea Selatan JTL dari awal tahun 2000-an, mendadak kembali viral ketika DJ lokal Prengky Gantay merilis versi Jedag Jedug. Remix ini menjadi latar belakang lagu yang mengiringi tim pemandu sorak bisbol KIA Tigers di Korea Selatan, dengan ekspresi datar serta koreografinya yang sederhana yang justru menarik perhatian kreator lokal maupun global. Tren ini menjadi sangat viral, bahkan menarik perhatian bintang pop Amerika, Olivia Rodrigo, dan komentator musik Australia, Derrick Gee. Ini merupakan contoh perpaduan budaya yang bersumber dari konten digital serta menunjukkan pengaruh lintas budaya yang kuat dalam membentuk budaya pop, baik di tingkat lokal maupun global.

Baca Juga :   Bukalapak Bareng Google Naikkan Akses Pasar UMKM

Faktanya, delapan dari sepuluh lagu teratas dalam daftar EOY (End of Year) YouTube memiliki keterkaitan dengan tren Shorts, mendorong kreativitas dan menghidupkan kembali konten nostalgia. Genre musik Indonesia seperti Dangdut berevolusi berkat tren Shorts, termasuk tren dance dan transisi makeup.

Shorts juga menjadi fondasi bagi subgenre musik yang kian berkembang seperti Dangdut Koplo dan Jedag Jedug, yang berfokus pada konten remix. Lagu-lagu seperti “Terek Bale” dan “Sekecewa Itu” bahkan lebih populer dengan nuansa baru lewat remix DJ. Hal ini pun menimbulkan perhatian global.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics