AGRA Kecam dan Kutuk Kekerasan Aparat Keamanan terhadap Rakyat Rempang

0
262
Reporter: Rommy Yudhistira

Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengecam dan mengutuk cara serta tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terhadap rakyat dalam menyelesaikan sengketa agraria di Pulau Rempang. Terlebih proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang itu dinilai hanya menguntungkan sekelompok pengusaha.

“Kembalikan dan pulihkan sepenuhnya hak rakyat Rempang atas tanah kehidupannya. Juga hentikan semua tindakan hukum terhadap rakyat Pulau Rempang dan bebaskan semua rakyat Rempang yang telah ditahan tanpa syarat,” kata Sekjen AGRA Mohamad Ali dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (18/9).

Ali menuturkan, Rempang Eco City yang direncanakan sebagai kawasan industri, perdagangan dan wisata merupakan satu dari proyek strategis nasional (PSN) Presiden Joko widodo. Dan, itu ditetapkan melalui Permenko Bidang Perekonomian RI No. 7 tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI No. 7 tahun 2021 Tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional seluas sekitar 17 ribu hektare pada 28 Agustus 2023.

Menurut Ali, pemerintah pusat menyiapkan proyek tersebut melalui kerja sama antara BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata dengan perkiraan investasi sekitar Rp 381 triliun hingga 2080. Untuk diketahui, Rempang Eco City merupakan satu dari sekian banyak proyek ambisius Presiden Joko widodo yang mendapat penolakan dari rakyat.

Baca Juga :   B Capital Yakin Bisnis B2B Marketplace Mampu Pertahankan Pertumbuhannya

Akan tetapi, kata Ali, Presiden Jokowi bergeming. Meski penolakan rakyat pada 7 September lalu berujung kekerasan, Presiden Jokowi justru tetap memerintahkan untuk melanjutkan pembangunan Rempang Eco City dengan skema relokasi rakyat Rempang yang diklaim sebagai kompensasi yang adil atas setiap kehilangan dan penderitaan rakyat Rempang.

“Sesungguhnya tidak akan ada kompensasi yang adil atas setiap kehilangan rakyat atas haknya. Sebab, bagi rakyat, Pulau Rempang tidak hanya sebatas tempat tinggal dan mencari nafkah melainkan sejarah turun temurun yang akan terus hidup hingga masa-masa yang akan datang,” kata Ali.

Seperti proyek lainnya, dalam hal rencana pembangunan Rempang Eco City ini, kata Ali, pemerintah selalu menggembar-gemborkan ilusi kemajuan dan penyerapan tenaga kerja. Padahal, itu hanya sebagai pembenaran atas tindakan pemaksaan yang menggunakan aparat kepolisian dan TNI untuk menggusur rakyat Pulau Rempang.

“Dan, rakyat yang berupaya berjuang mempertahankan hak hidupnya selanjutnya distigmakan sebagai tindakan menghambat investasi, tindakan melawan hukum, provokator dan lain sebagainya yang lantas dengan secara legal bisa menjadi korban kriminalisasi,” tandas Ali.

Baca Juga :   BKPM Sebut Realisasi Investasi Kuartal II/2020 Turun 8,9% karena Dampak Covid-19

Sebelumnya, pada 7 September lalu, penolakan rakyat Pulau Rempang atas penggusuran untuk proyek pembangunan Rempang Eco City berujung tindakan kekerasan dari aparat kepolisian dan TNI kepada rakyat. Bahkan karena tindakan tersebut, beberapa ditangkap dan dituduh sebagai provokator.

Dalam sebuah penggalan video di media sosial, karena peristiwa kekerasan itu, sejumlah anak berseragam SD dan guru berhamburan keluar dari ruang kelas. Mereka tampak panik dan ketakutan. Lalu, berulangkali pula terdengar teriakan para guru agar aparat kepolisian tidak menembakkan gas air mata karena ada anak SD.

Karena peristiwa itu, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengecam keras tindakan dari aparat kepolisian dan meminta pemerintah menghentikan tindakan yang menggusur rakyat atas nama investasi. Kasus penolakan rakyat Pulau Rempang terhadap relokasi dan pembangunan Rempang Eco City masih terus berlanjut hingga saat ini. Dan, pemerintah sepertinya masih terus berkeras untuk melanjutkan proyek tersebut.

 

Leave a reply

Iconomics