Skema Danantara Dipertanyakan karena Berbeda Fungsi dengan Kementerian BUMN
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan mempertanyakan skema yang akan diterapkan di Badan Pengelola (BP) Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) karena operasional dan fungsinya dinilai berbeda dengan Kementerian BUMN. Kendati begitu, akan ada 7 BUMN di bawah kendali dan menopang Danantara.
Dengan demikian, kata anggota anggota Komisi VI Darmadi Durianto, fungsi sosial BUMN berpotensi hilang jika perusahaan-perusahaan milik negara itu bergabung dengan Danantara. “Karena memang adanya keraguan di kalangan masyarakat, BUMN (nantinya) tidak banyak berfungsi karena berbagai hal,” kata Darmadi kepada wartawan, Selasa (12/11).
Keraguan terhadap BUMN di kalangan publik, kata Darmadi, selama ini soal kinerja khususnya soal sinergi dan kolaborasi. Hal itu menjadi sorotan yang paling menonjol. Lalu, soal rendahnya rendahnya kultur tata kelola perusahaan yang baik (GCG) karena banyaknya kasus korupsi dan rentannya intervensi politik kepada jajaran pengurus BUMN.
“Maka timbullah konsep superholding Danantara ini untuk membuat seperti Temasek di Singapura. Harus kita akui BUMN sekarang ini intervensinya luar biasa dan memang tidak berdaya, dan tidak bisa dihindari juga sama Pak Menteri (BUMN, Erick Thohir),” kata Darmadi.
Meski begitu, kata Darmadi, pembentukan Danantara awalnya karena latar belakang untuk mengurangi intervensi politik, sehingga performa BUMN bisa optimal sumber daya dan kebijakannya.
“Tetapi, justru kita dengar partai politik ini masuk, partai politik ini jadi komisaris, jadi dirut, persepsi itu muncul. Dan ini timbul keraguan dari Pak Presiden Prabowo (terhadap BUMN) sehingga menciptakan Danantara. Danantara dengan konsep Temasek dianggap bisa mengurangi intervensi politik, padahal belum tentu juga,” katanya.