
Ekonom Citi Indonesia Perkirakan Komponen Investasi akan Terdongkrak Seiring dengan Konsumsi

Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman
Iconomics - Pertumbuhan komponen investasi (PMTB) pada triwulan kedua 2022 yang lalu belum begitu kencang. Namun, Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman, memperkirakan komponen investasi ini akan ikut terdongkrak seiring dengan pertumbuhan komponen konsumsi.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,44% yoy pada triwulan kedua yang lalu, terutama ditopang oleh pertumbuhan komponen ekspor barang dan jasa yang tumbuh 19,74% dan pertumbuhan komponen konsumsi rumah tangga yang tumbuh 5,51%.
Helmi mengatakan komponen belanja rumah tangga selama kuartal kedua sudah kembali ke level pra Covid-19. Bahkan belanja rumah tangga untuk restoran dan hotel, dan juga transportasi yang selama masa pandemi selalu berada di bawah normal, pada kuartal kedua sudah terlihat kembali ke level sebelum Covid.
“Salah satu yang masih relatif tidak sekuat yang lain adalah investasi. Investasi masih cenderung pemulihannya belum sekuat yang lain. Namun, perkiraan kita ke depannya investasi ini juga akan ikut bergerak naik, karena biasanya investasi ini menyusul konsumsi. Jadi, kalau konsumsinya bergerak naik dengan cepat, sehingga utilisasi industri meningkat, maka ini biasanya disusul gelombang ekspansi kapasitas di berbagai industri,” ujar Helmi dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (11/8).
Geliat ekspansi industri ini terlihat dari kenaikan impor berbagai barang modal selama semester pertama 2022. Helmi mengatakan impor untuk mesin-mesin industri sudah lebih tinggi 25% dibandingkan pra Covid.
Secara umum Citi Indonesia menilai ketahanan ekonomi Indonesia relatif kuat di tengah gejolak kenaikan harga komoditas dunia dan prospek melemahnya perekonomian negara-negara besar dunia baik Amerika Serikat, Eropa maupun Tiongkok.
Ketahanan yang kuat dari ekonomi Indonesia ini terutama karena dua faktor. Pertama, Indonesia merupakan net exportir komoditas terutama komoditas energi.
“Walaupun kita net importir minyak dan bensin, kita merupakan net exportir yang besar komoditas-komoditas lain seperti batubara, sawit dan belakangan ini juga logam dasar,”ujar Helmi.
Faktor kedua yang membuat Indonesia relatif kuat adalah ekspor Indonesia mengalami peningkatan ke negara-negara besar terutama Tingkok. Peningkatan ekspor ini karena selama 5-7 tahun terakhir, investasi logam dasar masuk Indonesia. Sejak tahun 2020 investasi-investasi ke logam dasar tersebut sudah mulai berproduksi dan outputnya dieskpor ke Asia utara terutama Tiongkok.
“Indonesia sekarang misalnya dalam beberapa tahun terakhir dari tidak memproduksi nikel secara signifikan, sekarang Indonesia sudah berkontribusi sekitar 70% produksi nikel dunia,” ujar Helmi.
Pertumbuhan ekspor ini, baik ekpsor komoditas Sumber Daya Alam (SDA), maupun logam dasar, menjadi ‘payung’ bagi perekonomia Indonesia di saat kondisi global sedang ‘hujan’.
Surplus neraca perdagangan Indonesia kini menjadi penopang pasar valas domestik. Sehingga, walaupun di Amerika Serikat suku bunga sedang naik dan terjadi capital outflow dari pasar obligasi berbagai negara berkembang, pasar valas Indonesia masih relatif stabil. “Walaupun Rupiah tetap depresiasi seiring dengan depresiasi mata uang-mata uang negara lain, namun keseimbangan pasar valas itu masih relatif terjaga karena sektor ekspornya kuat,” ujar Helmi.
Surplus neraca perdagangan Indonesia juga memberikan payung untuk APBN di sisi penerimaan. PNBP sumber daya alam tahun ini mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pasar valas yang stabil serta tambahan penerimaan di sisi APBN, memberikan ruang bagi Pemerintah Indonesia untuk memberperbesar subsidi energi sehingga harga-harga energi di Indonesia tidak naik setinggi harga energi di banyak negara lain seperti Amerika dan Eropa. Bahkan di Asia pun tidak semua negara bisa menahan harga energi seperti yang dilakukan Indonesia.
[…] daya tahan ekonomi Indonesia relatif kuat menghadapi berbagai gejolak kenaikan harga komoditas dan kelesuhan ekonomi […]