AAUI Nilai Program MBG Bisa Jadi Langkah Primer untuk Tekan Tingginya Klaim Asuransi

Konferensi pers Asosiasi Asuransi Umum Indonesia [AAUI] merespons putusan MK terkait uji materi pasal 251 KUHD. MK dalam putusan yang dibacakan 3 Januari 2025 menyatakan, ketentuan pasal 251 itu inskonstitusional bersyarat. Konferensi pers ini dihadiri (kiri-kanan) oleh Richard Haullusy - Pengacara AAUI), Budi Herawan - Ketua AAUI; Muhammad Iqbal - Wakil Ketua Bidang Kerjasama Antar Lembaga & Anggota, dan Hubungan Internasional; serta Firdaus Djaelani - Dewan Kehormatan AAUI/Foto: Dok.AAUI
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai program makan bergizi gratis (MBG) dapat menjadi salah satu tindakan primer (primary preventive) untuk mengantisipasi tingginya klaim asuransi kesehatan di masa mendatang. Dengan terpenuhinya gizi anak sejak dini, diharapkan dapat memperkecil risiko kesehatan bagi masyarakat Indonesia.
“Makan bergizi dimulai dari usia dini kira-kira begitu. Ini jadi primary preventive yang menurut kami membacanya kedepannya ini akan menjadi menarik. Ini kalau kita bicara quantum leap atau kita bicara waktu saat ini memang belum terlihat kira-kira di industri berkaitan sama hal itu,” kata Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional dan Kerja Sama Antar-Anggota Lembaga AAUI Muhammad Iqbal dalam acara Diskusi Tematik Redaksi The Iconomics beberapa waktu lalu.
Iqbal mengatakan, pihaknya mendorong pemerintah agar gencar melaksanakan program pemeriksaan kesehatan gratis. Sebab, program itu dinilai bisa mencegah tingginya klaim asuransi kesehatan di Indonesia.
“Ada juga program cek kesehatan gratis untuk targetnya adalah yang sudah berusia. Justru, saya mau mendorong ini mungkin juga bagian dari ekosistem,” ujar Iqbal.
Sedangkan untuk tindakan sekunder, lanjut Iqbal, AAUI telah melakukan surat penutupan asuransi jiwa (SPAJ), dan surat permohonan asuransi umum (SPAU). SPAJ merupakan surat permohonan pembatalan polis yang digunakan untuk mengakhiri perjanjian asuransi jiwa yang telah berjalan dan SPAU merupakan dokumen identitas calon nasabah, dan bukti bahwa nasabah mengajukan asuransi kepada perusahaan asuransi.
Permasalahannya, kata Iqbal, nasabah terkadang tidak mau mengakui penyakitnya sehingga berdampak langsung terhadap tingginya klaim asuransi. “Cuma kembali lagi sekarang, secondary preventive yang kami siapkan, ini diisi langsung nasabah. Ini juga punya 2 implikasi. Langsung nasabahnya atau tertanggung yang mempunyai implikasi. Tertanggungnya kadang tidak mau menyatakan. Supaya harga preminya tidak tinggi-tinggi sekali,” ujar Iqbal.
Masih kata Iqbal, keterlibatan semua pihak dibutuhkan untuk menurunkan angka klaim asuransi di antaranya melibatkan media sebagai penerus informasi positif kepada masyarakat. “Kalau media kita masukkan sebagai ekosistem supaya juga berkontribusi sama apa yang terjadi atau yang kita sebut dengan medis ini kenapa meningkat biayanya dan seterusnya,” kata Iqbal.
Leave a reply

