Bankir Masih Menunggu Peraturan Pemerintah Terkait Devisa Hasil Ekspor
Meski sudah diwacanakan sejak awal tahun ini, tetapi hingga kini pemerintah belum juga menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.1 tahun 2019 terkait devisa hasil ekspor (DHE). Padahal, di sisi lain sejak Maret 2023 lalu, Bank Indonesia sudah memberikan fasilitas term deposit valas kepada para eksportir sumber daya alam agar bisa membawa deviasa hasil ekspor ke dalam negeri.
CEO Citi Indonesia Batara Sianturi mengakui sejumlah klien Citi Indonesia sudah memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia ini. Hanya saja, menurutnya, jumlahnya masih belum besar.
“Memang kita masih menunggu peraturan dari pemerintahnya. Karena ini masih dari sisi peraturan Bank Indonesia untuk fasilitasnya. Tetapi untuk mandatorinya masih menuggu keluarnya peraturan (Pemerintah),”ujar Batara kepada wartawan awal pekan ini.
Batara mengatakan beberapa eksportir sudah menunjukkan ketertarikannya kepada fasilitas term deposit valas yang diberikan oleh Bank Indonesia.
“Mudah-mudahan nanti apabila peraturan pemerintahnya sudah diterbitkan dengan ketentuan yang jelas, masanya penempatannya itu berapa lama, saya rasa juga nanti akan makin banyak pelaku-pelaku ekspor untuk melakukan (penempatan DHE di dalam negeri,” ujarnya.
Dalam catatan Theiconomics, pada 11 Januari 2023 lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan akan merevisi Peraturan Pemerintah No.1 tahun 2019 tentang devisa hasil ekspor. Salah satu poin revisinya adalah kewajiban bagi eksportir manufaktur untuk membawa pulang devisa hasil ekspor ke dalam negeri.
“Saat ini, hanya sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan yang diwajibkan masuk ke dalam negeri. Nah, ini kita masukan juga beberapa sektor termasuk sektor manufaktur,” ujar Airlangga.
Revisi aturan ini dilakukan karena adanya keprihatikan bersama baik pemerintah maupun Bank Indonesia karena Devisa Hasil Ekspor banyak yang mengendap di luar negeri. Peningkatan ekspor Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini tidak diikuti peningkatan cadangan devisa yang sinifikan karena para eksportir masih menempatan DHE di luar negeri.
Tahun 2022 lalu, nilai ekspor Indonesia mencapai US$291 miliar, dengan surplus neraca perdagangan hampir mencapai US$55 miliar. Harusnya dengan tingginya ekspor ini, pasokan valuta asing (valas) di dalam negeri, terutama Dollar Amerika Serikat, pun berlimpah, sehingga nilai tukar Rupiah lebih tangguh. Tetapi, sebaliknya yang terjadi pada tahun 2022 lalu, Rupiah babak belur ketika Dollar AS menguat akibat naiknya suku bunga di Amerika Serikat.
Destry Damayanti, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia mengatakan sejak awal Desember 2022 Bank Indonesia terus berkoordinasi dengan pemerintah soal pasokan Dollar di dalam negeri yang kurang di saat nilai ekspor tinggi ini. Sebagai institusi yang menjaga stabilitas Rupiah, ada concern dari Bank Indonesia untuk menjaga pasokan valas.
“Pada saat itu ada rasa, kenapa ya dana itu (hasil ekspor) kok enggak masuk di perbankan kita? Ternyata, di periode dimana Dollar mengalami penguatan yang kuat, semua negara itu membutuhkan Dollar, sehingga terjadi persaingan suku bunga antarnegara, bukan hanya antarbank tetapi antarnegara,” ujar Destry dalam konferensi pers, Kamis (19/1) lalu.
Karena itulah pada 20 Desember 2022 yang lalu, Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia yang baru dimana Bank Indonesia meluncurkan instrumen operasi moneter valas yang baru dalam bentuk term doposit valas. Dalam instrumen yang baru ini, para eskportir Sumber Daya Alam (SDA) bisa menyimpan Dana Hasil Ekspor (DHE) di bank dalam negeri. Kemudian, Bank dalam negeri yang ditunjuk sebagai agen akan meneruskannya (pass on) ke Bank Indonesia.