Citi Indonesia Beberkan Dampak Terpilihnya Donald Trump ke Industri Tekstil hingga Pasar Keuangan Indonesia

0
60

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada pemilu 5 November lalu berdampak tidak hanya ke pasar keuangan Indonesia, tetapi juga sektor riil terutama industri tekstil, alas kaki dan kulit.

Helmi Arman, Chief Economist Citi Indonesia mengatakan, bagi kawasan Asia, perubahan politik di Amerika Serikat menimbulkan kekhawatiran memanasnya kembali perang tarif antara Amerika Serikat dan China, sebagaimana terjadi pada 2016-2020, saat Trump menjadi Presiden AS.

Helmi yang berbicara kepada jurnalis pada acara paparan publik kinerja keuangan Citi Indonesia di Jakarta, Rabu (13/11), mengatakan, saat perang tarif pada periode 2016-2020 itu, negara-negara di kawasan Asia Tenggara sebenarnya  diuntungkan karena adanya relokasi rantai nilai manufaktur keluar dari China yang dilakukan berbagai perusahaan multinasional.

Perpindahan rantai nilai itu, kata Helmi, mencakup berbagai macam industri. Tetapi dalam pengamatan Citi, tambahnya, kebanyakan didominasi perpindahan rantai nilai industri elektronika, yang menjadi fokus perang tarif antara AS dan China kala itu.

Negara di Asia Tenggara yang banyak menerima masuknya rantai nilai berbagai industri, termasuk elektronika, keluar dari China, adalah Vietnam, menyusul Thailand dan Malaysia.

“Indonesia ada juga, tetapi relatif lebih kecil,”kata Helmi.

Relokasi rantai nilai manufaktur dari China ke negara-negara di Asia Tenggara ini menyebabkan defisit perdagangan Amerika Serikat dengan China menurun dari US$375,2 miliar pada 2017 menjadi US$279,1 miliar pada 2023.

Sebaliknya, defisit neraca perdagangan Amerika Serikat dengan  negara-negara Asia Tenggara justru naik, kata Helmi.

“Naik yang paling banyak itu Vietnam, diikuti Thailand. Di luar Asia Tenggara, defisit perdagangan AS dengan India juga naik. Indonesia juga naik, walaupun sedikit,” kata Helmi.

Defisit perdagangan AS dengan Vietnam meningkat dari US$38,3 miliar pada 2017 menjadi US$104,6 miliar pada 2023. Sementara dengan Thailand meningkat dari US$31,5 miliar menjadi US$44,1 miliar. 

Baca Juga :   Citi Indonesia Kantongi Laba Bersih Rp1,4 Triliun di Tahun 2022

Sementara defisit perdagangan AS dengan Indonesia pada 2023 sebesar US$17 miliar, dari US$13,3 miliar pada 2017.

Kenaikan defisit perdagangan AS dengan negara-negara selain China ini, kata Helmi, memuculkan pertanyaan: Apakah pada kepresidenan Trump kali ini (2025-2029), negara-negara Asia selain China juga menjadi sasaran kenaikan tarif impor?

Akankan Industri Tekstil Indonesia Makin Terpuruk?

Meski surplus perdagangan Indonesia dengan Amerika Serikat relatif kecil dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara, Helmi mengatakan, tidak tertutup kemungkinan adanya perubahan kebijakan perdagangan AS yang secara langsung berpengaruh ke Indonesia. 

Apalagi, saat kampanye, Trump mengatakan, akan mengenakan tarif terhadap seluruh impor ke AS, terutama negara-negara yang mengalami surplus perdagangan dengan negara itu.

“Jadi, walaupun Indonesia bukan peyumbang terbesar defisit perdagangan AS, tetap tidak imun terhadap risiko adanya kebijakan perdagangan yang langsung mempengaruhi ekspor Indonesia,” kata Helmi.

Produk yang diekspor Indonesia ke AS cukup beragam. Komoditas ekspor Indonesia ke AS yang paling besar adalah produk tekstil, sepatu dan kulit. Nilainya mencapai US$6,8 miliar, sekitar 29% dari total ekspor Indonesia ke AS. 

AS juga merupakan pasar ekspor terbesar bagi produk tekstil, sepatu dan kulit Indonesia, dengan porsi mencapai 44% dari total ekspor komoditas tersebut.

“Artinya ada ketergantungan yang tinggi terhadap pasar Amerika untuk produk-produk ini. Dan kita ketahui, ini adalah salah satu industri yang padat karya bagi kita,” kata Helmi.

Selain tekstil, sepatu dan kulit, Indonesia juga mengekspor CPO dan chemicals ke AS. Dengan nilai ekspor US$2,7 miliar, porsi ekspor CPO Indonesia ke AS mencapai 12% dari total ekspor ke AS.

Baca Juga :   Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Diproyeksikan Lesu Jadi Alasan BI Pangkas Suku Bunga

Hanya saja, kata Helmi, ketergantungan Indonesia terhadap pasar AS untuk komoditas CPO tak begitu tinggi, karena porsinya hanya 8% dari total ekspor CPO Indonesia ke berbagai negara.

Dengan demikian, apabila AS menghambat ekspor CPO, Helmi mengatakan, Indonesia masih bisa melakukan diversifikasi ke negara-negara lain.

Selain risiko langsung, Indonesia juga bisa kena pukulan tak langsung, dari dua hal yaitu dumping dan penurunan harga komoditas.

Helmi mengatakan, negara-negara tetangga yang terimbas kebijakan tarif AS berpotensi mengalihkan ekspornya ke Indonesia, dengan harga jual yang lebih murah alias dumping.

“Ini merupakan tantangan bagi industri manufaktur dalam negeri,” ujarnya.

Perang dagang antara AS dan China juga berpotensi menurunkan ekonomi China yang pada gilirannya menurunkan permintaan terhadap komoditas tertentu.

“Sehingga nilai ekspor dari komoditas-komoditas ekspor Indonesia menurun dan mengganggu neraca perdagangan kita,” kata Helmi.

Kurva Imbal Hasil US Treasury Belum Tentu Turun, Meski FRR Dipangkas

Di pasar keuangan, Helmi mengatakan, terpilihnya Donald Trump “memunculkan ketidakpastian yang lebih tinggi terhadap kelangsungan arus modal asing ke pasar obligasi Indonesia”, termasuk pasar negara emerging markets secara umum.

“Walaupun Citi berpandangan Federal Reserve Rate [FRR] atau suku bunga kebijakan di AS masih bisa turun di bulan Desember, namun kurva imbal hasil US Treasury atau Obligasi Negara AS, itu belum tentu ikut turun,” kata Helmi.

Helmi menjelaskan, kebijakan tarif, apabila jadi diluncurkan Trump setelah dilantik Januari 2025 nanti, berpotensi mengerek inflasi di AS.

“Kenaikan ekspektasi inflasi ini menahan turunnya kurva imbal hasil US Treasury,” kata Helmi.

Selain itu, bila Trump mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap produk China, maka menurut Helmi, bisa mengakibatkan devaluasi nilai Yuan, mata uang China.

Baca Juga :   Untuk Stabilisasi Rupiah, Bank Indonesia Naikkan BI Rate 25 Basis Poin Jadi 6,25%

“Kita mengetahui Yuan merupakan jangkar bagi nilai tukar negara-negara emerging markets. Kalau Dolar AS menguat terhadap Yuan, ada kemungkinan juga Dolar AS ikut menguat terhadap mata uang negara-negara emerging markets, termasuk Rupiah,” ujarnya.

Kurva imbal hasil US Treasury yang sulit turun dan risiko devaluasi Yuan, menurut Helmi, diperkirakan membuat Bank Indonesia “lebih berhati-hati dalam menurunkan suku bunga kebijakannya ke depan.”

“Kami perkirakan penurunan suku bunga BI Rate ini akan lebih tertahan dibandingkan dengan ekspektasi kami sebelum terpilihnya Presiden Trump,” ujarnya.

Helmi mengatakan, Citi memandang, sebelum adanya kebijakan konkret dari Trump – yang dilantik Januari 2025 – The Fed akan terus fokus ke perkembangan pasar tenaga kerja dan inflasi di AS. 

“Karena itu, Citi masih memperkirakan The Fed akan tetap menurunkan suku bunga acuannya di bulan Desember sebesar 50 basis poin,” ujarnya.

Namun, penurunan suku bunga kebijakan oleh The Fed ini belum tentu langsung diikuti Bank Indonesia. Apalagi Rapat Dewan Gubernur BI pada Desember 2024 dilakukan bersamaan dengan Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed.

“Sehingga BI mungkin masih akan menunggu reaksi pasar, terutama reaksi kurva imbal hasil US Treausry sebelum menyesuaikan kebijakan suku bunga acuan,” kata Helmi.

“Jadi, untuk November dan Desember, kami belum memproyeksikan penurunan suku bunga BI Rate,” pungkasnya.

Dapatkan berita dan analisis seputar ekonomi, bisnis dan lainnya hanya di theiconomics.com.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan terbaru, berita, dan event The Iconomics di akun sosial media kami:
Instagram: the.iconomics
TikTok: @theiconomics
YouTube: @theiconomics
X: theiconomic
LinkedIn: The Iconomics

Leave a reply

Iconomics