Gen Z Gunakan Dana Pinjol untuk Penuhi Gaya Hidup Hedon, OJK Disarankan Buat Aturan yang Lebih Ketat
Wahyudi Darmawan, Direktur Utama BRI Finance menyarankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk membuat regulasi yang lebih ketat di sektor pinjaman berbasis online atau pinjol, terutama terkait dengan penggunan dana pinjol.
Riset Inventure menunjukkan, alih-alih digunakan untuk kebutuhan produktif, Gen Z malah menggunakan dana hasil pinjol untuk mendukung gaya hidup hedonisme mereka.
Wahyudi mengatakan, dibandingkan Buy Now Pay Later (BNPL) dan kartu kredit – dua layanan keuangan yang memiliki karakteristik yang mirip dengan pinjol – akses ke pinjol memang relatif mudah. Pemanfaatan dana hasil pinjaman dari pinjol juga tidak ditentukan secara spesifik, sebagaimana pada layanan BNPL dan kartu kredit.
“Nah, pinjol ini mungkin harus diregulasi lebih ketat lagi dan sampai diatur pada level penggunaannya. [Dana hasil pinjaman] itu untuk apa, segala macam. Karena kredit-kredit yang lain, rata-rata peruntukannya itu sudah spesifik, misalnya untuk beli kendaraan ada KKB, beli rumah ada KPR, untuk usaha ada KUR, juga ada kredit komersial dan lainnya,” kata Wahyudi dalam acara Indonesia Industry Outlook 2025 dengan tema Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?, Rabu (23/10).
Riset Inventure mengungkapkan layanan pinjol semakin populer di kalangan Gen Z di Indonesia. Menurut survei yang digelar di lima kota besar itu – Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Makasar dan Medan – sebanyak 34% dari Generasi Z telah memanfaatkan pinjol untuk berbagai kebutuhan, namun sebagian besar penggunaannya berhubungan dengan gaya hidup konsumtif.
Dari 34% Gen Z yang memanfaatkan pinjol, 61% responden menggunakan pinjol untuk membeli gadget, sementara 35% lainnya memanfaatkan pinjaman untuk belanja kebutuhan fashion seperti baju, sepatu, dan tas. Selain itu, 23% dari Gen Z memanfaatkan pinjol untuk kegiatan rekreasi seperti nongkrong dan liburan.
Wahyudi mengatakan, ketergantungan Gen Z pada pinjol didorong oleh tiga faktor utama. Pertama, rendahnya literasi keuangan di kalangan mereka. Kedua, adanya tekanan sosial yang tinggi atau Fear of Missing Out (FOMO). Ketiga, kemudahan akses terhadap pinjaman online yang jauh lebih sederhana dibandingkan produk keuangan lainnya.
“Berbeda dengan layanan seperti pay later atau kartu kredit yang diatur dengan regulasi ketat, pinjol masih memiliki celah dalam regulasi dan transparansi, yang membuatnya lebih mudah diakses oleh masyarakat, khususnya generasi muda,” jelas Wahyudi.
Alhasil, dari fenomena ini yaitu gaya hidup konsumtif dan karakteristik Gen Z yang identik dengan seeking new experience namun tidak disertai dengan literasi keuangan yang memadai dan kemudahan akses, Gen Z kerap terjebak dalam siklus utang yang sulit dihindari, mengakibatkan risiko jangka panjang pada stabilitas keuangan mereka.