Inflasi 2024 Rendah, Sri Mulyani Klaim Pemerintah Tetap Jaga Daya Beli Masyarakat

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan kinerja perekonomian Indonesia dan APBN 2024 pada Senin, 6 Januari 2025/Foto: YouTube
Inflasi rendah sepanjang 2024 ditengarai sebagai indikator menurunnya daya beli masyarakat. Namun, pemerintah mengklaim, tetap menjaga daya beli masyarakat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, inflasi rendah pada 2024 di tengah volatilitas harga pangan dan depresiasi nilai tukar Rupiah merupakan buah kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia melalui Tim Pengendali Inflasi.
Sepanjang 2024, tingkat inflasi Indonesia mencapai 1,57%, terendah sejak 1958, bahkan lebih rendah dari tingkat inflasi pada masa pandemi Covid-19.
Tingkat inflasi tahun 2024 juga lebih rendah dari target pemerintah dan DPR dalam asumsi makro pada penyusunan APBN 2024 yaitu 2,8%.
Dalam paparannya pada konferensi pers APBN Kita, Senin (6/1), Sri Mulyani membanggakan pencapaian tingkat inflasi yang rendah ini, meski pengamat menilai tingkat inflasi yang rendah ini merupakan indikasi daya beli masyarakat yang menurun.
“Coba bayangkan, terkena tekanan harga makan [pangan], terkena depresiasi Rupiah yang biasanya menciptakan imported inflation, kita masih mampu menjaga inflasi di 1,57%, terutama kontribusi volatile food yang mulai mereda,” kata Sri Mulyani.
Pembantu Presiden Prabowo Subianto ini mengatakan, “inflasi yang rendah adalah hasil dari kebijakan bersama”, terutama Tim Pengendali Inflasi baik nasional maupun daerah, dimana di dalamnya melibatkan Bank Indonesia dan pemerintah daerah.
“Kami memberikan insentif fiskal pada pemerintah daerah untuk terus mengawasi, menjaga harga tetap stabil. Dampaknya kami yakin tetap bisa menjaga daya beli masyarakat. Kami tahu ini tekanan luar biasa, tetapi berbagai upaya dilakukan untuk melindungi masyarakat dan daya belinya,” ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan, dalam asumsi makro 2024, inflasi diproyeksikan sebesar 2,8%. Tingkat inflasi sempat meningkat ke level 3,1% pada April 2024, kata dia.
“Kemudian kita bisa stabilkan sehingga tahun 2024 berakhir dengan inflasi 1,57%, di bawah asumsi,” ujarnya.
Sebelumnya, Pudji Ismartini, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan, inflasi rendah sepanjang 2024 lebih disebabkan harga pangan pokok yang rendah.
“Rendahnya inflasi tahun 2024 disebabkan oleh sejumlah faktor. Namun, melandainya harga pangan pokok setelah sempat naik di 2022 dan 2023 ini bisa dikatakan menjadi faktor utama,” ujarnya pada Kamis (2/1).
Pudji memaparkan ada beberapa komoditas peredam inflasi pada 2024, diantaranya cabe merah yang mengalami deflasi 46,53% dengan andil deflasi 0,27%.
Komoditas lainnya yang juga meredam inflasi tahun 2024 adalah cabe rawit yang mengalami deflasi 39,74% dengan andil deflasi 0,18%, bensin yang mengalami deflasi 1,86% dengan andil deflasi 0,09% dan tarif angkutan udara yang mengalami deflasi 7,26% dengan andil deflasi 0,06%.
Pertumbuhan Ekonomi Meleset
Untuk asumsi makro pertumbuhan ekonomi 2024, Sri Mulyani memperkirakan meleset dari target 5,2%.
“Kita memperkirakan outlook-nya akan di 5%,” ujarnya.
Tanda-tanda melesetnya target pertumbuhan ekonomi ini sudah terlihat pada realisasi pertumbuhan pada kuartal pertama hingga ketiga 2024, yang berada di bawah ekspektasi.
Pada kuartal pertama, realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,11%. Kemudian terus menurun pada dua kuartal sesudahnya, masing-masing 5,05% pada kuartal kedua dan 4,95% pada kuartal ketiga.
“Untuk kuartal keempat masih belum keluar. Kita estimasikan masih ada di sekitar 5%, sehingga untuk keseluruhan tahun growth kita perkirakan masih ada di 5%,” ujar Sri Mulyani.
Nilai tukar Rupiah juga meleset dari perkiraan. Sri Mulyani mengatakan, nilai tukar Rupiah terus mengalami tekanan karena berbagai faktor global, termasuk kebijakan suku bunga Fed Fund Rate di Amerika Serikat, yang berpengaruh pada aliran modal dari negara-negara emerging market dan penguatan Dolar Amerika Serikat.
Akibatnya, nilai tukar Rupiah yang diasumsikan 15.000 per Dolar Amerika Serikat, hingga akhir tahun 2024 terealisasi pada level 16.162 per Dolar Amerika Serikat.
Tak hanya berpengaruh ke nilai tukar Rupiah, tekanan juga terjadi pada imbal hasil surat berharga negara. Untuk menekan capita outflow, yield atau imbal hasil SBN 10 tahun terealisasi sebesar 7%, lebih tinggi dari asumsi pada APBN yaitu 6,7%.
Masalah geopolitik juga sempat membuat harga minyak global bergejolak hinga mendekati US$90 per barel. Namun, Sri Mulyani mengatakan, harga minyak dunia kemudian kembali terkoreksi sehingga secara keseluruhan tahun 2024, rata-rata harga minyak dunia sebesar US$71,6 per barel, lebih rendah dari asumsi dalam APBN 2024 sebesar US$82 per barel.
Di sisi lain, produksi minyak dan gas di dalam negeri terus melorot. Sri Mulayani mengungkapkan, hingga November 2024, produksi minyak siap jual atau lifting hanya 571.700 barel per hari, lebih rendah dari target dalam APBN yaitu sebesar 635.000 barel per hari.
Setali tiga uang, produksi gas juga meleset. Hingga November, produksi gas Indonesia hanya 973 ribu barel setara minyak per hari, lebih rendah dari target dalam APBN 1,03 juta barel setara minyak per hari.