Kondisi Global Masih Suram, Sri Mulyani, Cs  Pererat Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan 

0
14

Komite Stabilitas Sistem Keuangan [KSSK] yang terdiri atas Kementerian Keuangan, Bank Indonesia [BI], Otoritas Jasa Keuangan [OJK]  dan Lembaga Penjamin Simpanan [LPS] menilai ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi, di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang stabil rendah, serta ketegangan geopolitik baik di Timur Tengah maupun Rusia dan Ukraina yang masih tinggi. Pemilihan umum di sejumlah negara maju, seperti  Amerika Serikat, Prancis dan Inggris juga menjadi faktor risiko yang mempengaruhi pasar keuangan.

“Situasi inilah yang kita bahas di dalam KSSK, karena ini membutuhkan respons kebijakan dari kami berempat baik dari sisi fiskal di Kementerian Keuangan, moneter di BI, OJK dari sisi pengawasan dan regulasi sektor keuangan dan LPS sebagai lembaga penjamin simpanan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers KSSK di Kantor LPS, Jumat (2/8).

Sri Mulyani menambahkan, KSSK “perlu makin mempererat koordinasi dan sinkronisasi kebijakan”  untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian Indonesia.

KSSK, katanya, terus mencermati dan mengantisipasi berbagai risiko yang berkembang, seperti pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan masih lemah.

Baca Juga :   Belanja Kurang Greget, Surplus APBN pada Februari Mencapai Rp131,8 Triliun

Laporan terbaru World Economic Outlook (WEO) periode Juli 2024 oleh International Monetary Fund [IMF] memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2024 ini hanya 3,2% yoy, lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2023 yang sebesar 3,3%.

“Tahun lalu, oleh Managing Director IMF, Kristalina Georgieva sudah dianggap sebagai tahun yang gelap. Jadi, kalau tahun 2024 ini, outlook-nya 3,2%, ini berarti pertumbuhan ekonomi dunia masih stagnan lemah dan bahkan lebih lemah dibandingkan tahun lalu,” ujar Sri Mulyani.

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang merupkan negara dengan nilai Produk Domestik Bruto [PBD] terbesar tetap  baik, terutama didorong oleh permintaan domestik.

Sementara ekonomi terbesar kedua, yaitu  Tiongkok masih belum kuat dengan pertumbuhan triwulan II-2024 hanya sebesar 4,7% yoy, lebih rendah dari target pemerintah negara itu yang sebesar 5%.

Rendahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok terjadi karena permintaan domestik yang masih lemah baik konsumsi maupun investasi, dan juga karena tekanan di sektor properti yang masih berlanjut.

Di sisi lain,  Sri Mulyani mengatakan, perkembangan terkini menunjukkan tingkat inflasi Amerika Serikat pada Juni 2024 menurun sejalan dengan turunnya tekanan harga energi dan perumahan. Pada saat yang sama, tingkat pengangguran di Amerika Serikat juga meningkat.

Baca Juga :   Kementerian Keuangan: Stimulus Fiskal dan APBN Terus Ditingkatkan agar Ekonomi Pulih

Dua indikator ekonomi negara Paman Sam ini, kata Sri Mulyani, memberikan harapkan bank sentralnya akan menurunkan suku bunga acuan atau Fed Fund Rate [FRR], lebih cepat dari proyeksi sebelumnya yaitu dari Desember 2024 menjadi September.

Namun, masalahnya, tambah Sri Mulyani tingkat imbal hasil [yield] surat berharga negara Amerika Serikat terutama untuk US Treasury yang jatuh tempo 10 tahun masih relatif tinggi. Hal ini terjadi karena defisit anggaran yang besar sehingga membutuhkan pembiayaan yang juga besar dengan menerbitkan surat utang.

Selain itu, ketegangan geopolitik baik di Timur Tengah maupun Ukraina masih tinggi. Apalagi pasca tewas terbuhnya pemimpin politik Hamas, Ismail Abdel Salam Haniyeh pada pekan ini.

Negara-negara maju, seperti Amerika Sertikat, Prancis dan Inggris juga menggelar pemilihan umum yang berpengaruh pada kondisi geopolitik.

“Hal ini membuat ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi,” ujar Sri Mulyani.

Dampaknya, tambah Sri Mulyani, aliran modal ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia, “menjadi relatif terbatas.”

Leave a reply

Iconomics