Kesejahteraan Pensiunan di Indonesia Memprihatinkan, Pemeritah dan OJK Tata Ulang Program Pensiun
Secara umum tingkat kesejahteraan pensiunan di Indonesia masih memprihatinkan, seperti tergambar dari replacement ratio yang masih rendah, jauh dari ideal.
Karena itu, Pemerintah Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan [OJK] menata kembali program dana pensiun ini.
Dari sisi Pemerintah, bakal meluncurkan program pensiun tambahan sebagai amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Sementara OJK sudah mengatur ulang soal pencairan program pensiun dari Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).
UU P2SK yang sudah diundangkan pada Januari 2023, mengamanatkan Pemerintah untuk “mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum.”
Sebagai bagian dari program harmonisasi itu, selain program jaminan hari tua dan jaminan pensiun yang sudah ada dalam sistem jaminan sosial nasional yang ada saat ini, UU P2SK mengamanatkan, Pemerintah juga “dapat melaksanakan Program Pensiun tambahan yang bersifat wajib”.
Program Pensiun tambahan ini ditujukan “bagi pekerja dengan penghasilan tertentu”.
Ogi Prastomiyono, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK mengatakan, manfaat pensiun yang ada saat ini, baik itu untuk Aparatur Sipil Negara [ASN] melalui Taspen, TNI/Polri melalui Asabri, maupun pekerja formal melalui BPJS Tenaga Kerja, masih relatif kecil.
“Kalau dari hasil data yang ada, manfaat pensiun [replacement ratio] yang diterima oleh pensiunan itu relatif sangat kecil. Itu hanya sekitar 10-15% dari penghasilan terakhir yang diterima pada saat [masih] aktif [bekerja],” ujar Ogi dalam konferensi pers bulanan OJK, Jumat (6/9).
Idealnya, kata Ogi, sesuai rekomendasi International Labour Organization [ILO], replacement ratio mencapai 40%.
Artinya, penghasilan bulanan yang diterima pekerja saat pensiun minimal sebesar 40% dari penghasilan terakhirnya saat masih aktif bekerja.
Ogi mengatakan, saat ini Pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah [PP] terkait program pensiun tambahan. PP itu nanti akan mengatur antara lain soal batasan penghasilan yang wajib mengikuti program pensiun tambahan itu.
“Jadi, kami dalam hal ini masih menunggu mengenai bentuk dari PP terkait dengan harmonisasi program pensiun. Dan ini memang kata-katanya ‘dapat’. Kita menunggu kewenangan dari pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah terkait dengan hal tersebut,” ujar Ogi.
Tata Ulang Pencairan Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun
OJK sendiri sudah mengatur ulang pencairan manfaat pensiun dari Dana Pensiun melalui POJK 27/2023 dan POJK 8/2024. Melalui kedua aturan tersebut, OJK mengembalikan hakikat manfaat pensiun sebagai penghasilan yang diterima secara berkala saat masa pensiun tiba.
Ogi mengatakan, tujuan dari pelaksanaan program pensiun itu adalah menjaga kesinambungan penghasilan setelah memasuki usia pensiun. Hakikatnya, kata dia, pensiunan itu menerima manfaat pensiun secara berkala yaitu bulanan pada masa pensiun.
Pasal 43 ayat (1); Pasal 55 ayata (1) dan Pasal 72 ayat (1) POJK 27/2023 menegaskan Peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), Peserta DPPK yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP) dan Peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) pada saat pensiun dapat menerima Manfaat Pensiun pertama paling banyak 20% dari Manfaat Pensiun secara sekaligus.
“Tetapi 80% sisanya itu dilakukan pembayaran berkala bulanan baik oleh program dana pensiun pemberi kerja maupun oleh dana pensiun dalam produk anuitas yang diberikan oleh perusahaan asuransi,” ujar Ogi.
Ketentuan dalam POJK 27/2023 ini juga diselaraskan OJK dalam POJK 8/2024 tentang Produk Asuransi dan Saluran Pemasaran Produk Asuransi. Pada pasal 10 disebutkan “Penyelenggaraan anuitas asuransi jiwa atau anuitas asuransi jiwa syariah untuk program dana pensiun oleh Perusahaan asuransi jiwa dan perusahaan asuransi jiwa syariah wajib dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan dana pensiun.”
Pada bagian penjelasan dijelaskan, “ketentuan terkait anuitas dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penyelenggaraan dana pensiun misalnya Perusahaan Asuransi tidak boleh menyediakan Produk Asuransi anuitas untuk program dana pensiun yang menawarkan penebusan polis kurang dari jangka waktu manfaat pensiun 10 tahun.”
Ogi mengatakan, sebelum POJK 27/2023 dan POJK 8/2024, sering kali pencairan atau penebusan program anuitas dilakukan sebelum program berakhir, dengan dikenakan denda 5%.
“Tetapi kami melihat, bahwa itu kurang pas untuk menjadi program pensiunan. Harusnya anuitas itu diberikan secara berkala setiap bulan,” ujar Ogi.
Ogi juga meluruskan persepsi bahwa manfaat pensiun ini tidak bisa dicairkan selama 10 tahun. “Itu kurang pas juga,” kata Ogi.
Karena, jelas Ogi, mengacu pada POJK 27/2023, manfaat pensiun ini bisa dibayarkan sekaligus bila setelah dikurangi 20%, nilainya kurang dari atau sama dengan Rp1,6 juta per bulan atau nilai tunainya itu kurang dari atau sama dengan Rp500 juta. (Pasal 44 ayat (1); Pasal 59 (1) dan Pasal 73 (1)).