
Mengintip Strategi Investasi PT Taspen (Persero), Benarkah dalam Kondisi Waspada?

Direktur Utama PT Taspen (Persero) Antonius N S Kosasih/The Iconomics
Di tengah heboh kasus salah kelolah investasi yang dilakukan manajemen PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang berujung kasus hukum dan PT Asabri, pada Januari lalu anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih mengingkatkan PT Taspen (Persero) juga perlu diawasi. Perusahaan asuransi PNS ini, menurut Saragih, dalam dua tahun berturut-turut mengalami kerugian dalam investasi saham.
Benarkah demikian dan bagaimana perusahaan asuransi plat merah yang memiliki 6,9 juta peserta ini meracik portofilio investasinya?
Antonius N S Kosasih, Direktur Utama PT Taspen (Persero) menjelaskan Taspen memiliki konsep investasi yang mereka sebut PAHALA. Ini merupakan singkatan dari (harus) Pasti, Aman, Hasil, Lukuid, dan Antisipatif.
“Pertama-tama kami berinvestasi itu harus pasti aman. Tolok ukur pertama kali kalau berinvestasi itu tidak boleh rugi dan siap dia audit oleh lembaga audit,” ujar Kosasih dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (19/2).
Selain pasti dan aman, investasi yang dilakukan Taspen juga harus menghasilkan imbal hasil yang maksimal setiap tahun. Tak hanya itu, instrumen investasi juga harus likuid artinya hasil investasianya mudah dicairkan.
“Kemudian yang terakhir adalah antisipatif. Kami bersama-sama dengan BUMN yang lain berupaya untuk mengantisipasi pergerakan di pasar sehingga investasi kami bisa memberikan imbal hasil yang optimal dan maksimal untuk kepentingan peserta,” ujarnya.
Bagaimana Komposisi Investasi Taspen?
Kosasih mengungkapkan 86,2% dari portofolio investasi Taspen memberikan imbal hasil yang tetap dan memiliki risiko rendah (fixed icome, low risk).
Tengok saja komposisinya. Mayoritas investasi Taspen berada di Surat Utang yaitu sebanyak 67,5%. Surat utang yang dipilih pun sebagian besar dalah obligasi pemerintah yang tentu saja memiliki tingkat risiko yang rendah tetapi dengan tingkat kupon yang menarik. Dari 67,5% ini, sebanyak 37,7% adalah SUN dan 11,2% adalah SBSN. Kemudian, 16,1% adalah obligasi korporasi. Sisanya, sebanyak 1,9% diinvestasikan pada surat utang jangka menengah atau Medium Term Note (MTN) yang diterbitkan oleh BUMN. Ada juga yang diinvestasikan pada Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK-EBA) yang diterbitkan BUMN. Jumlahnya sekitar 1%. Porsi terkecil untuk investasi pada surat utang ini adalah pada Sukuk Korporasi yaitu sebesar 0,2%.
“Semua surat berharga yang kami beli kalau dari negara otomatis ratingnya AAA, kalau untuk BUMN minimal kita harus investment grade atau BBB,” ujar Kosasih.
Selai pada Surat Utang, Taspen juga memilih porsi yang cukup besar pada instrumen fixed income low risk lainnya yaitu deposito. Jumlah yang diinvestasikan pada deposito sebanyak 18,7%. Menurut Kosasih, dari 18,7% deposito itu, sekitar 80% ditempatkan di bank BUMN buku IV seperti BRI,Mandiri, BNI. Kemudian ada juga di bank BUMN buku III yaitu BTN.
“Sisanya ada di beberapa BPD yang kami pilih sesuai dengan tingkat kesehatan BPD yang dimaksud, ada juga sebagian kecil di bank kami sendiri yaitu Mandiri Taspen,” jelasnya.
Porsi terbesar ketiga adalah pada instrumen reksa dana yaitu mencapai 6,7%. Kosasih tidak mejelaskan jenis reksadana yang dipilih, apakah reksa dana saham, pendapatan tetap atau campuran. Tetapi, yang pasti, menurutnya reksa dana yang dipilih adalah reksa dana hasil racikan manajer investasi (MI) yang memiliki aset Rp 10 triliun hingga Rp 50 triliun. “Ini MI-nya besar-besar,” ujarnya.
Taspen memiliki eksposur yang rendah pada instruen investasi yang memiliki risiko tinggi. Investasi pada saham, menurut Kosasih tidak sampai 5% dari total investasi mereka. “Saham kami hanya 4,9%,” ujarnya.
Sebagian besar saham yang dibeli Taspen adalah saham yang masuk dalam daftar LQ45. Saat ini, ungkapnya, Taspen mengoleksi kurang lebih 43 saham. “Kita pegang buat jangka panjang. Sahamnya buat dapatin dividen,” ujarnya ketika ditanya saat rehat rapat dengan Komisi VI DPR RI.
Selain berinvestasi pada berbagai instrumen investasi di pasar modal, Kosasih mengatakan Taspen juga melakukan investasi langsung. Tetapi porsiya hanya 2,2%. “Bentuknya adalah anak-anak perusahaan kami sendiri,” ujarnya.
Kinerja PT Taspen
Berdasarakan laporan keuangan yang belum diaudit (unaudited), pendapatan premi dan iuran PT Taspen (Persero) pada 2019 lalu mencapai Rp 9,06 triliun, naik 12,08% dibandingkan tahun 2018 yang mencapai Rp 8,08 triliun.
Sedangkan, hasil investasi (tidak termasuk hasil investasi dari iuran pensiun) pada tahun 2019 lalu tumbuh 19,07% dari Rp 7,65 triliun pada 2018 menjadi Rp 9,10 triliun pada 2019 lalu.
Pos pedapatan lain-lain juga tumbuh signifikan yaitu naik 39,85% dari Rp 791,93 miliar menjadi Rp 1,10 triliun.
Dengan demikian total pendapatan Taspen pada 2019 lalu mencapai sekitar Rp 19,3 triliun. Jumlah beban klaim mencapai Rp 12,3 triliun. Sehingga laba kotor yang diperoleh mencapai sekitar Rp 7 triliun.
“Dari laba kotor tersebut kami langsung cadangkan beban liabilitas manfaat polis masa depan dan cadangan teknis sebesar 5,35 triliun,” ujarnya.
Setelah dikurangi pencadangan Rp 5,35 triliun dan sekitar Rp 1 triliun untuk biaya karyawan atau pegawai yang berjuamlah 1.673 orang, maka laba bersih perusahaan pada 2019 yang belum diaudit adalah Rp 388,24 miliar, naik 42,97% dibandingkan 2018 yang mencapai Rp 271,55 miliar. “Tetapi setelah di-audit angka (laba bersih) kami Rp 394,9 miliar, lebih dari 43% dibandingkan tahun sebelumnya,” ujar Kosasih.
Keuntungan dan Kerugian Investasi
Pada tahun 2019, Taspen mecatatkan penghasilan komprehensif sebesar Rp 1,69 triliun. Pada tahun sebelumnya, pos ini tercatat rugi sebesar Rp 4,23 triliun.
Bagaiaman menjelaskan ini? Kosasih mengatakan pos pengasilan atau rugi komprehensif ini adalah skenario yang dibuat oleh Taspen bila aset investasinya dijual pada akhir tahun baik 2018 maupun 2019.
“Kami konvensional sekali pembukukannya. Semua aset kami itu harus likuid dan harus bisa dijual. Karena itu pada setiap akhir tahun, berdasarkan peraturan PSAK, standar akuntasi itu, kami harus mark to market. Jadi diandai-adaikan kalau semua dijual pada akhir tahun itu , untung atau rugi?” jelasnya.
Karena pada tahun 2018, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Indeks Obligasi turun, maka berdasarkan mark to market yang dilakukan, Taspen mengalami rugi komprehensif sebesar Rp 4,2 triliun.”Tetapi itu tidak ada penjualan apa-apa cuma angka benchmarking saja,” ujarnya.
Sebaliknya, pada tahun 2019 kembali dilakukan valuasi terhadap aset-aset investasi milik Taspen. “Tahun 2019 di-benchmark lagi, barang yang sama di bench mark, kalau dijual tahun 2019, untung 1,69 triliun. Tetapi juga tidak ada penjualan apa, jadi tidak ada uang masuk dan tidak ada uang keluar, itu hanya bench mark. Cuma kami mau menunjukan bahwa kondisi aset kami di 2019 lebih sehat daripada kondisi di 2018. apakah terjadi kerugina di 2018?Tidak ada, cuma itu angka yang harus kami laporkan,” jelasnya.
Menurut Kosasih, rugi komprehensif inilah yang sempat ramai diberitakan media beberapa waktu lalu, yang menyebutkan Taspen mengalami penurunan nilai aset investasi.
Kenyataannya menurut dia, tahun 2019 lalu, aset Taspen naik dari Rp 231,86 triliun menjadi Rp 263,24 triliun, atau ada tambahan sekitar Rp 32 triliun. Tambahan tersebut, menurutnya, termasuk dari hasil pengelolaan investasi.
“Kira-kira dari pengelolaan investasi kami dapat Rp 20 triliun, Rp 9 triliun itu untuk tabungan hari tua, itu returnnya sekitar 9,1%-9,2% per tahun,” ujarnya.
Jumlah Dana Akumulasi Iuran Pensiun pada 2019 lalu juga naik dari Rp 127,7 triliun pada 2018 menjadi Rp 151,3 triliun pada 2019. Kenaikan sekitar Rp 24 triliun, menurut Kosasaih, sebagian dari iuran peserta, tetapi sekitar Rp Rp 11 triliun hingga Rp 12 triliun dari hasil investasi. Imbal hasil investasi iuran pensiun ini, menurutnya, sekitar 8,2% hingga 8,3% per tahun.
Leave a reply
