PAFI Ungkap Alasan Kuat Buat Public Affairs untuk Gunakan Senjata Storytelling
Insan public affairs korporasi mendapat tantangan untuk selalu adaptasi dengan berbagai ruang dan waktu yang semakin dinamis. Tantangan tersebut seiring tantangan yang dihadapi organisasi/korporasi yang semakin banyak dan kompleks.
“Kita sedang dihadapkan dengan multi dimensi challenges, baik itu information yang overload, adanya fake news, policy yang berubah, informasi yang berubah, ada artificial inteligence, ada chat GPT, hingga hilangnya rasa empati di masyarakat,” kata Ketua Public Affairs Forum Indonesia (PAFI), Agung Laksamana dalam PAFI Leadership series 3 pada Kamis (15/06/2023).
Semakin lengkap tantangannya yang ditambah dengan terdapatnya kondisi sulit mengkomunikasikan informasi korporasi kepada publik, media, hingga regulator. Oleh karena itu, untuk mengatasi challenges tersebut dibutuhkan kreativitas dari para public affairs.
“Saya rasa di titik inilah kreativitas public affairs itu dibutuhkan sebagai bridge untuk memahami tren, regulasi, substansinya, membuat konteks itu menjadi relevan kepada publik, storytelling menjadi bagian penting dalam advokasi public affairs,” ungkap Agung.
Agung juga menjelaskan peran storytelling menjadi sangat bermanfaat bagi public affairs. Menurutnya, berdasarkan riset yang didapat menunjukkan bahwa otak manusia akan melepas hormon oksitosin jika mendengarkan cerita.
“Otak manusia itu kalau mendengar cerita dia itu akan melepaskan oksitosin hormon yang terkait dengan trust dan empati. Jadi peningkatan oksitosin itu membuat manusia cenderung trust-nya timbul dan kolaboratif ini penting dalam membuat sasaran untuk mengambil decision making,” lanjutnya
Adapun riset lain menyatakan bahwa manusia mampu mengingat informasi 50% dalam bentuk narasi dibandingkan visual.
Menurutnya, dengan melakukan storytelling ini menjadi peluang untuk public affairs dalam mengomunikasikan kepada stakeholder.
“Jadi ini oppurtunity bagi kita, bagaimana mem-packaging story-story di perusahaan kita kepada stakeholder supaya lebih impactful dan beliau-beliau ini bisa membantu,” lanjutnya.
Agung juga bercerita bahwa Presiden Obama pernah mengakui bahwa salah satu kesalahannya ketika menjabat adalah memahami bahwa tugas Presiden hanya sebatas membuat kebijakan (policy). Padahal, tugas menjadi Presiden lebih dari itu, yaitu harus memiliki kekuatan untuk engaging, atau mempengaruhi hati publik.
“Dia (Obama) bilang menurutnya esensi dari jabatan presiden itu adalah bercerita kepada rakyat Amerika, memberikan unity, memberikan purpose, dan juga optimisme terutama di masa-masa sulit,” lanjutnya.