
Penyidik Kejagung Diminta Segera Periksa Eks Dirut Nicke dan SVP ISC Pertamina di Kasus Minyak

Sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus soal korupsi Pertamina/Istimewa
Tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung mulai memeriksa orang-orang di PT Pertamina (Persero) khususnya pada Integrated Supply Chain (ISC). Pemeriksaan ini terkait dengan dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina, subholding dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) periode 2018-2023.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Harli Siregar mengatakan, pihaknya memanggil orang berinisial CJ yang menjabat sebagai Analyst Light Distillato Trading pada ISC Pertamina periode 2019-2020. Keberadaannya sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi untuk memperkuat pembuktian dan perkara tersebut.
“Selain CJ, penyidik pun memangil 3 orang lainnya yang meliputi TA (eks Dirjen Kementerian ESDM 2020-2024), ES (Eks Dirjen Migas Kementerian ESDM 2019-2020 dan AYM (Koordinator Pengawasan BMM BPH Migas),” kata Harli dalam keterangan resminya di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal tersebut, Indonesian Audit Watch (IAW) menilai, pemanggilan terhadap CJ yang merupakan analis pada ISC Pertamina sudah tepat. Pasalnya, pada periode itu kewenangan pengadaan/penjualan minyak mentah dan produk kilang menjadi tugas dan tanggung jawab ISC.
Sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus mengungkapkan, merujuk laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan tentang pengadaan minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2021 Semester I, pasca-pembubaran Pertamina Energy Trading Limited (Petral) medio 2014, ISC menjadi koordinator dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengadaan minyak mentah dan produk kilang.
“ISC kan dipimpin seorang senior vice president (SVP) dan bertanggung jawab langsung kepada direktur utama Pertamina. Nah, saya kira penyidik perlu memeriksa siapa SVP-nya waktu itu. Juga perlu memeriksa eks Dirut Pertamina Nicke Widyawati karena laporan ISC kan kepada beliau,” tutur Iskandar di Jakarta, Senin (10/3).
Langkah tersebut, kata Iskandar, untuk menghindari prasangka bahwa Kejaksaan Agung hanya menyasar orang-orang tertentu dalam kasus ini terutama untuk periode 2021-2023. Sebab, pada periode ini pula subholding termasuk PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional dan Pertamina International Shipping baru mulai beroperasi.
“Sesuai LHP BPK itu pengadaan minyak mentah dan produk kilang dalam periode tersebut telah menunjukkan berbagai kelemahan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian internal. Apakah ada ketidaksesuaian antara hasil audit BPK dengan fakta hukum yang ditemukan Kejaksaan Agung? Atau, apakah ada penyimpangan yang tidak terungkap dalam audit BPK?” tanya Iskandar.
Masih kata Iskandar, pihaknya menginventarisasi persoalan pengadaan minyak mentah dan produk kilang periode 2018-Semester I/2021 sesuai LHP BPK. Dari inventarisasi itu, maka IAW menemukan beberapa masalah seperti berikut:
– Pengadaan minyak mentah dan produk kilang pada 2018-2020 masih dilakukan langsung oleh PT Pertamina (Persero).
– Struktur subholding baru mulai efektif setelah restrukturisasi Kementerian BUMN pada 2020-2021, di mana PT Pertamina Patra Niaga dan PT Kilang Pertamina Internasional mulai berperan.
“Jika memang terjadi korupsi dalam proses pengadaan minyak mentah, seharusnya penyelidikan tidak hanya berfokus pada periode subholding (2021-2023), tetapi juga mencakup 2018-2020, saat masih di bawah kendali penuh Pertamina (Persero),” tandas Iskandar Sitorus.
Secara terpisah, Sekretaris Perusahaan PT Kilang Pertamina Internasional Hermansyah Y. Nasroen membenarkan keterangan Iskandar. Subholding ini tidak bisa memberi keterangan apapun terkait kasus yang sedang ditangani Kejaksaan Agung itu.
“Mas izin, kami belum berkapasitas untuk menjawab hal tersebut karena KPI mengelola kilang sejak 2021 atau sejak dimulainya holding–subholding Pertamina,” kata Hermansyah.
Kronologis
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 9 orang sebagai tersangka. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, serta VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono. Kemudian, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne.
Selanjutnya, dari pihak swasta ada Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Kerry merupakan anak dari Riza Chalid, pengusaha yang dijuluki sebagai The Gasoline Godfather. Bahkan rumah Riza Chalid sempat digeledah dan hasilnya penyidik menyita sejumlah dokumen serta uang senilai Rp 833 juta dan dalam bentuk US$ itu 1.500.
Untuk sementara ini, Kejagung menghitung dugaan korupsi tata kelola minyak di Pertamina dengan kerugian negara setidaknya Rp 193,7 triliun. Dugaan korupsi terjadi pada 5 komponen yang menyebabkan kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp 35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp 2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp 9 triliun, kerugian pemberian kompensasi tahun 2023 sekitar Rp 21 triliun.
Seperti analisis Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejagung menyebut dugaan korupsi dalam kasus ini di antaranya menyatakan kilang milik Pertamina tak bisa mengolah minyak mentah dalam negeri sehingga harus impor dengan harga digelembungkan. Juga mengimpor bensin RON 90 dengan harga RON 92 dan menjadikannya bensin RON 92 dengan dioplos. Tindakan ini berlangsung dalam kurun 2018-2023.
Leave a reply
