PPATK Luncurkan Penilaian Risiko Tahun 2021, Apa Isinya?
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meluncurkan naskah Penilaian Risiko Tahun 2021 atau National Risk Assessment (NRA). Peluncuran NRA ini merupakan respons Indonesia atas perkembangan keadaan risiko terkini dengan cara mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi berbagai risiko pencucian uang, pendanaan terorisme, serta pendanaan proliferasi senjata pemusnah massal, baik dalam lingkup risiko domestik maupun luar negeri (inward risk dan outward risk) yang mutakhir.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemanan Mohammad Mahfud MD mengatakan pengkinian NRA merupakan bentuk adaptif Indonesia dalam merespons dinamika situasi dan kondisi risiko saat ini, terutama di masa pandemi.
“Dengan berkembangnya teknologi dan kompleksnya modus pelaku kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) yang tidak dapat diprediksi, memberikan peluang ancaman baru yang harus kita mitigasi dan antisipasi secara cepat dan tepat, salah satunya dengan melihat apa yang tertuang dalam Naskah NRA tahun ini,” kata Mahfud dalam siaran pers tertulis.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae menjelaskan bahwa Indonesia telah melaksanakan penilaian NRA yang pertama pada tahun 2015 dan telah dilakukan penilaian konsolidasi NRA 2015 Updated atas berbagai penilaian risiko sektoral dan white paper selama periode 2015 sampai 2020.
“Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang sangat kuat dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Berbagai langkah dalam rangka mengukuhkan komitmen Indonesia telah dilaksanakan secara solid melalui strategi kebijakan nasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU di Indonesia,” kata Kepala PPATK.
Dari hasil NRA TPPU Indonesia Tahun 2021, terdapat beberapa perubahan dan kondisi ancaman baru terhadap aspek pencegahan dan pemberantasan TPPU/TPPT/PPSPM. Korupsi dan narkotika merupakan jenis tindak pidana asal TPPU yang berisiko tinggi TPPU domestik. Beberapa contoh kasus TPPU hasil korupsi yang telah melibatkan sejumlah kepala daerah dan berafiliasi dengan partai politik seperti kasus ZH senilai Rp54,4 miliar. Kasus TPPU hasil korupsi sektor sumber daya alam yang berakibat kerugian negara sebesar Rp37,8 triliun, kasus korupsi pengelolaan keuangan dana investasi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp16,81 triliun.
Korupsi dan narkotika merupakan jenis tindak pidana asal yang berkategori ancaman tinggi TPPU ke luar negeri (outward risk). Pengungkapan Kasus TPPU hasil Narkotika, Jaringan FB dengan data transaksi semua pihak terkait terperiksa sebesar Rp6,4 triliun, FY sebesar Rp27 triliun, dan LB sebesar Rp181 triliun yang merupakan Jaringan Narkotika Internasional.
PPATK juga memaparkan informasi pengungkapan kasus TPPU hasil Korupsi Transnasional seperti Kasus Korupsi Garuda ES sebesar Rp87,46 miliar, Kasus Bendahara Partai NZ sebesar Rp627, 86 miliar, Kasus Kepala Daerah terkait Suap Korupsi Sektor Sumber Daya Alam sebesar Rp40,26 miliar, Kasus Korupsi Proyek Pengadaan E-KTP senilai Rp5,9 triliun.
Penipuan, Korupsi, Transfer Dana, Narkotika, Informasi Transaksi Elektronik (ITE) atau SIBER merupakan jenis tindak pidana asal TPPU yang berkategori ancaman tinggi TPPU ke Indonesia (Inward Risk). Akhir-akhir ini, Indonesia seringkali menjadi negara tujuan pengalihan transfer dana dalam kasus penipuan transaksi bisnis atau Business Email Comproise (BEC) oleh sindikat jaringan internasional, diantaranya Kasus atas Pembelian Peralatan Covid-19 dari Italia sebesar Rp56 miliar, dari Belanda sebesar Rp27 miliar, dari Athena Yunani sebesar Rp111 miliar, dari Argentina sebesar Rp40 miliar.
Selama periode 2016-2020, PPATK menyebut terdapat 336 putusan perkara pencucian uang yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah teridentifikasi dalam kajian NRA 2021 ini menunjukkan bahwa estimasi akumulasi nilai hasil kejahatan mencapai sebesar Rp44,2 triliun. Dari jumlah tersebut nilai kejahatan terbesar pada tindak pidana narkotika sebesar Rp21,5 triliun (48,67%), tindak pidana penipuan sebesar Rp14,2 triliun (32,08%), tindak pidana korupsi sebesar Rp5,05 triliun (11,4%), tindak pidana penggelapan (2,94%), tindak pidana di bidang perbankan (1,36%), tindak pidana transfer dana (1,07%), tindak pidana di bidang perpajakan (1,05%). Kondisi tersebut tentunya dapat merusak integritas sistem keuangan dan perekonomian nasional.